— pemantas raga,
pelaras jiwa
Foto: Im Yoon-ah [임윤아] dalam cuplikan You Think dari
Girls' Generation [소녀시대]
|
Pemantas raga, pelaras
jiwa, itulah busana. Busana sudah menjadi kebutuhan utama manusia sejak awal
keberadaannya. Busana yang dikenakan awalnya sepele—bukan sederhana—berupa
kulit binatang yang dikeringkan lalu digunakan sebagai penutup badan.
Penggunaan kulit binatang sebagai penutup badan memiliki banyak kegunaan,
antara lain menghindarkan badan dari kedinginan maupun melindungi diri dari
merangsang berahi manusia lainnya.
Seiring berkembangnya
peradaban manusia, busana juga memiliki fungsi lain untuk memperindah
penampilan badan.
Fungsi ini tidak harus diwujudkan sebagai penyempurna penampilan badan,
melainkan juga untuk menutupi kekurangan. Misalnya, seorang yang memiliki badan
gempal tak proporsional, tentu tak enak dipandang kalau mengenakan busana
ketat.
Meski pandangan mengenai
keindahan senantiasa berubah, fungsi busana untuk memperindah penampilan terus
tercurah. Perkembangan peradaban manusia juga membuat busana terkait dengan
keadaban. Dua sisi ini, ialah keindahan dan keadaban, kadang-kadang sulit
dipadukan dengan laras. Sebagian kalangan ada yang lebih menekankan unsur
keindahan dan cenderung mengabaikan sisi keadaban, begitu juga sebaliknya.
Kelindan busana dengan
keadaban sempat mengalami masa-masa suram dengan batasan yang terlampau keras
dalam berbusana. Masyarakat Persia pemeluk keyakinan Zoroastrianism [Arab:
زرادشتية] adalah salah satu kerumunan yang sempat mengalami perlakuan seperti
ini. Keyakinan tersebut menganggap perempuan sebagai makhluk yang tidak suci.
Oleh karena itu, mereka diharuskan menutup mulut dan hidung supaya nafas
perempuan tak mengotori api suci yang merupakan pujaan masyarakat Persia saat
itu.
Di sisi lain, penggunaan
busana bisa juga memberikan dampak psikis bagi pengenanya. Misalnya, seorang
penggemar berat Real Madrid Club de Fútbol bisa merasa rendah diri ketika
mengenakan busana atribut klub yang dipujanya saat klub tersebut sedang
terpuruk. Terlebih busana tersebut dikenakan di lingkungan penggemar bola
lainnya yang sedang berjaya.
Dampak psikis busana
membuat sebagian negara memilih mengubah kostum angkatan perang (military) mereka dengan warna dan/atau
bentuk lain. Biasanya perubahan kostum terjadi setelah angkatan perang tersebut
mengalami kekalahan. Perubahan dilakukan dengan harapan agar sisa-sisa pengaruh
melemahkan dari kekalahan perang bisa dikurangi, kalaupun tak sanggup dihilangkan.
Masyarakat Mesir pernah
juga melakukan perubahan gaya berbusana mereka secara revolusioner. Pada masa
wilayah mereka dikuasai oleh bangsa Turki sejak masa Muhammad ‘Alī Pasha
(1805-1849 M) hingga masa Fārūq al-Awwal (Juli 1952 M), kaum lelaki biasa mengenakan
penutup kepala tharbusy
yang berasal dari Turki. Kebiasaan mengenakan tharbusy berbalik seketika setelah revolusi
yang dipimpin oleh Gamal Abdel Nasser Hussein terjadi. Tharbusy mendadak
ditanggalkan sebagai usaha untuk menumbuhkan rasa nasionalisme dan mengikis
habis pengaruh Turki.
Di Indonesia sendiri,
pengenaan busana untuk menumbuhkan rasa nasionalisme juga dilakukan sejak
proklamasi Republik Indonesia digelorakan. Saat itu, Sukarno memilih peci hitam
sebagai atribut kebangsaan. Satu bentuk busana yang dikenakan di atas kepala
untuk menumbuhkan jiwa nasionalisme. Bapak Proklamator Republik Indonesia—bukan
Bapak Republik Indonesia—ini pernah menuturkan bahwa mengenakan peci hitam
adalah lambang Indonesia Merdeka.
Sukarno tampak ingin menyematkan
makna bahwa pemakaian peci hitam tidak sekadar sebagai busana penutup kepala,
walakin sebagai peneguh jati diri bangsa yaitu lambang Indonesia Merdeka. Sejak
saat itu, peci hitam menjadi ‘busana wajib’ yang dikenakan pada foto resmi
pengelola negera. Melalui pengenaan peci hitam, Sukarno mengajak bangsa-bangsa
di Republik Indonesia untuk bersama-sama menegakkan kepala sebagai penghuni
negeri yang setara dan sepadan dengan bangsa-bangsa lain di planet Bumi.
Selain peci hitam, bentuk
lain busana yang dikenakan sebagai penumbuh rasa nasionalisme juga bisa melalui
kebaya. Kebaya biasa dianggap sebagai bentuk busana yang menyimbolkan paduan
kelembutan dan ketangguhan perempuan. Selain itu, kebaya juga bisa memancarkan
aura yang mampu mengeksplorasi keindahan tanpa mengabaikan sisi keadaban serta
bisa menyesuaikan dengan perubahan lingkungan tanpa menghilangkan identitas
aslinya.
Dampak psikis pengenaan
busana juga terjadi pada ranah hukum. Hakim yang sedang memimpin jalannya
persidangan misalnya, memiliki atribut busana yang khas. Pengenaan busana
seperti ini guna memberi kesan wibawa di hadapan orang yang hadir dalam
persidangan. Kesan wibawa yang didapat, selain memberi rasa yakin diri pada
hakim, juga menyiratkan makna bahwa busana juga dapat memberi dampak psikis
bagi yang melihatnya.
Dampak psikis bagi yang
melihatnya membuat busana tertentu sengaja dikenakan untuk menimbulkan kesan
tertentu. Misalnya ada orang yang mengenakan jubah putih lengkap dengan
serbannya agar memberi kesan kesalehan dan ketekunan beragama. Ada juga orang
yang mengenakan busana bergambarkan 2NE1 untuk mengesankan bahwa dia adalah
penggemar 2NE1.
Dengan demikian, selain
memiliki fungsi utama sebagai penutup badan serta berkaitan dengan keindahan
dan keadaban, busana juga bisa memberi dampak psikis bagi pengenanya maupun
penglihatnya. Dampak psikis juga yang membuat sebagian lembaga pendidikan
memiliki busana sendiri sebagai seragam mereka. Baik untuk siswa, guru, maupun
tenaga kerja yang terdapat di sekolah itu.
Pengenaan busana seragam
untuk pelajar satu sisi memberi dampak positif, antara lain melatihkan sikap
disiplin terhadap aturan yang berlaku dan mengikat mereka. Di sisi lain,
pengenaan busana seragam juga memberi dampak negatif, antara lain kurang
melatihkan kemampuan menyesuaikan dengan lingkungan melalui busana yang
dikenakan.
Memang dengan mengenakan
seragam tampak tak ada perbedaan, seperti perbedaan pilihan maupun tingkat
ekonomi dan sosial dari masing-masing keluarga pelajar. Namun dengan
membiasakan pelajar untuk tak tampil seragam dalam berbusana juga bisa menjadi
sarana untuk melatihkan pada mereka cara berbagi, bertenggang rasa, maupun
bertoleransi terhadap lingkungan sehingga membuahkan sikap mengapresiasi
kesamaan dan menghormati ketidaksamaan pilihan.
يَا بَنِي آدَمَ قَدْ
أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا
يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ
التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ
يَذَّكَّرُونَ
«القرآن الكريم سورة
الأعراف : ٢٦»