Ilustrasi Papan
Ketik
(Foto: Andra Junaidi
Ramadhan)
|
Pendahuluan:
Banyak pertanyaan yang diberikan kepada saya tentang proses kreatif sebagai
seorang penulis. Rata-rata saya menulis 60-70 artikel dalam setahun, terutama
sejak tahun 2001. Artinya sudah terdapat sekitar 300-350 artikel yang sudah
saya tulis. Kalau dijadikan buku kumpulan artikel, sudah bisa menjadi 7 sampai
10 buku, sesuatu yang belum saya lakukan. Salah satu “penilaian” saya masuk ke
CSIS adalah juga karena produktifitas penulisan ini.
Lalu, dari mana saya memulai menulis. Yang saya ingat, kebiasaan saya
menulis dimulai lewat catatan harian (1991-1996). Saya sudah menulis sejak
pertama kali menjejakkan kaki di Jakarta pada tahun 1991, beberapa bulan
sebelum hasil Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri diumumkan. Saya mengikuti
UMPTN di Padang, tepatnya kampus Universitas Bung Hatta. Tiga pilihan studi
saya waktu itu adalah Jurusan Meteorologi dan Geofisika Institut Teknologi
Bandung, Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan Jurusan
Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Saya
diterima di Jurusan Sejarah FSUI.
Karena pernah memenangkan juara tiga lomba bahasa Inggris di Sekolah
Menengah Umum 2 Pariaman, saya menulis catatan harian saya dalam bahasa
Inggris. Namun, lama-kelamaan, kebiasaan itu saya hilangkan. Ketika menjadi
aktivis kampus, saya terombang-ambing dengan kebencian terhadap Barat, termasuk
hegemoni budayanya. Akibatnya, saya juga membenci bahasa Inggris. Sesuatu yang
dampaknya luas sampai sekarang.
Catatan harian itu mengantarkan saya kepada banyak imajinasi tentang dunia.
Buku-buku yang saya baca, tempat-tempat yang saya kunjungi, orang-orang yang
saya temui, sampai hubungan percintaan yang timbul-tenggelam, menghiasi catatan
harian saya. Semuanya masih tersimpan sampai sekarang. Karena sering mencatat
orang-orang yang ada di sekitar saya, saya menjadi lebih paham tentang bagaimana
cara berpikir mereka. Sebagian dari orang-orang itu sekarang menjadi terkenal,
bahkan jauh sebelum reformasi. Rata-rata para aktivis dari berbagai kampus,
terutama dari UI. Sebut saja Fadli Zon, Zulkiefliemansyah (sekarang anggota DPR
dari PKS), Rama Pratama (sekarang anggota DPR dari PKS), Nusron Wahid (sekarang
jadi anggota DPR dari Partai Golkar), Mustafa Kamal (sekarang anggota DPR dari
PKS), Eep Saefullah Fatah, Fahri Hamzah (sekarang anggota DPR dari PKS), Wilson
(pernah dipenjara karena dituduh menjadi pelaku Gerakan 27 Juli 1996), dan
lain-lain.
UI ketika saya masuk adalah ladang pergulatan intelektual yang sangat
intens. Jurusan saya, misalnya, terbagi kedalam dua garis ideologi: merah dan
hijau. Pertarungan kedua kelompok ideologi ini bukan hanya terbatas pada
wacana, tetapi juga dalam aktivitas kemahasiswaan, termasuk perebutan posisi
dalam lembaga mahasiswa intra kampus. Kalaupun kemudian sejumlah nama itu
akhirnya terus berseberangan ketika di luar kampus, hal itu tidak bisa
dilepaskan dari pengalaman intelektual mereka. Satu kelompok melahirkan Partai
Rakyat Demokratik, kelompok yang lain menjadi anak-anak emas dalam Partai
Keadilan Sejahtera. Namun ada juga yang ikut ke Partai Golkar atau menjadi
sahabat dari para jenderal.
Orang yang saya kagumi kala itu ada empat.
Pertama, Arfandi Lubis (almarhum). Dia senior saya di jurusan sejarah. Dia
pengagum Tan Malaka tulen. Kanker usus yang akut menjadi penyebab kematiannya.
Dari dialah saya banyak berkenalan dengan wacana kiri, lalu mengoleksi buku-buku
kiri yang berwarna merah. Dia juga yang meminjamkan saya buku Dari Penjara ke
Penjara-nya Tan Malaka.
Kedua, Fadli Zon, teman saya satu angkatan dari Jurusan Sastra Rusia.
Talentanya luar biasa, juga jaringan pergaulannya di luar kampus. Dialah sebetulnya
yang “memaksa” saya untuk menulis, ketika dia sudah muncul sebagai penulis
terkenal di zamannya. Sebelum kemudian dikenal sebagai sahabat Prabowo
Subianto, Fadli adalah penulis esai yang bagus, kolom yang menggelitik, dan
makalah yang kaya dengan buku.
Ketiga, Mustafa Kamal. Dialah sosok yang waktu itu mengingatkan saya kepada
Natsir muda. Dalam organisasi, dia banyak memberikan ketauladanan, begitu juga
dalam hal pengayaan keislaman.
Keempat, Eep Saefullah Fatah. Sekalipun berbeda kampus, saya sering ketemu
dalam panggung seminar, baik ketika saya menjadi notulis, moderator, lalu
lambat laun mendampinginya sebagai pembicara. Eep punya kemampuan berbahasa
Indonesia yang sangat baik, juga menjelaskan sesuatu yang rumit dengan logika
yang runtut.
Sebetulnya, jauh lebih banyak lagi kawan, dosen, senior, dan junior yang
mempengaruhi saya. Kampus adalah tempat yang hangat. Selalu saja tersedia
banyak orang-orang baik, jauh lebih banyak dari yang potensial menjadi jahat.
Beragam kisah, ucapan, sampai pertengkaran dan perdebatan dengan orang-orang
itu masuk ke dalam catatan harian saya. Saya menulis sampai dini hari di dalam
kamar kos yang lembab dan kumal. Saya waktu itu adalah anak muda yang kurus
kering, berpenyakitan, miskin, dan sering mengenakan pakaian yang tidak layak.
Kerah baju saya—yang diingat oleh pacar yang kemudian menjadi istri saya—selalu
saja berlubang saking lamanya kena keringat dan tidak diganti.
Kenapa saya menulis catatan harian? Terus terang saya juga terpengaruh oleh
tiga buku harian. Pertama, Catatan Seorang Demonstran-nya Soe Hok Gie.
Buku ini betul-betul menjadi kumal, penuh catatan pinggir dari saya, lalu
hilang dan saya beli lagi. Kedua, Dari Penjara ke Penjara Tan Malaka.
Pengalaman membaca buku ini kadang bercampur dengan kecemasan. Bagaimana tidak?
Buku ini adalah buku terlarang waktu itu, sehingga kalau membacanya sedapat
mungkin tidak ada yang tahu. Ketiga, Pergolakan Pemikiran Islam Ahmad
Wahib, salah satu peletak dasar dari liberalisme Islam di kalangan anak-anak
muda Himpunan Mahasiswa Islam. Dari buku-buku yang saya baca dan koleksi, ada
sejumlah teman dekat yang menyebut saya “Hijau Semangka”: di luarnya hijau,
tetapi di dalamnya merah. Yang jelas, saya tidak dalam posisi “ideologis”
tertentu. Saya hanyalah anak rantau, baik dalam artian fisik, atau pemikiran.
Dengan modal mesin tik bekas yang saya beli di Manggarai, Jakarta Selatan,
tiap malam selalu diisi dengan tak-tik-tok di kamar kos saya di kawasan Lenteng
Agung. Semula, saya menulis apapun dengan tangan, lalu saya pindahkan ke kertas
putih dengan mesin tik kalau ada uang untuk membeli kertas dan tinta. Sering
sekali ketikan itu tidak bisa dibaca, saking tipisnya tinta yang digunakan.
Dari sana lahir puisi, cerita pendek, sampai satu dua novel yang tidak
rampung-rampung. Saya tidak tahu kemana semua yang saya pernah tulis itu
sekarang, karena seringnya pindah kos. Harta berharga yang pernah saya miliki,
lalu kalau teringat selalu menimbulkan penyesalan.
Menjajakan Tulisan
Semula, hanya teman yang paling dekat yang tahu saya punya catatan harian,
kumpulan puisi, sampai cerita-cerita pendek. Aktivitas yang semakin banyak di
luar kuliah, pada akhirnya memaksa saya untuk menulis lebih “ilmiah”. “Kampus”
pertama saya dapatkan dalam Kelompok Studi Mahasiswa UI Eka Prasetya. Di
sinilah saya belajar penelitian di luar penelitian sejarah. Di KSM UI ini juga
saya tampil sebagai notulis, moderator, akhirnya pembicara. Ketakutan saya untuk
berbicara di depan orang banyak mulai pelan-pelan pudar. Sejak kecil sampai
sekolah menengah saya memang punya hambatan mental, selalu berkeringat dingin
dan berdebar-debar ketika hendak berbicara. Saya gagap. Tapi ayah saya
membalikkan dengan kalimat: “Kamu gagap karena otak kamu lebih cepat berpikir,
ketimbang mulut kamu mengucapkannya!”
“Kampus” kedua saya adalah pers mahasiswa, yakni Suara Mahasiswa UI dan
tabloid Ekspresi FSUI. Saya ingat, laporan saya sebagai reporter tentang
HIV-AIDS ditolak oleh pemimpin redaksi Suara Mahasiswa kala itu, Ihsan
Abdussalam – yang kini juga jadi penulis. Saya harus memulai lagi belajar
tentang 5W-1H. Untunglah, ketiga gagal menjadi Ketua Senat Mahasiswa UI, saya
banyak menyediakan waktu untuk KSM UI dan Suara Mahasiswa UI. Karena sudah
senior, saya punya lebih banyak kebebasan untuk “memasukkan” tulisan atau
pemikiran saya ke media kampus itu, kalau perlu mengeditnya langsung di
Macintosh yang dimiliki oleh Suara Mahasiswa UI, agar pasti masuk.
Bantuan paling signifikan datang dari mata kuliah Penulisan Populer yang
diselenggarakan oleh Jurusan Sastra Inggris FSUI. Pengajarnya adalah sastrawan Ismail Marahimin. Metode pengajarannya unik, yakni
para mahasiswa harus menulis satu per minggu yang akan dipresentasikan dan “dibantai”
dalam jam-jam pelajaran yang membuat bulu kuduk merinding. Banyak mahasiswa
yang hilang di tengah jalan waktu itu, karena takut “dikerjai” oleh sang dosen.
Tetapi, satu hal yang disampaikan oleh Pak Ismail kala itu masih saya ingat.
“Kalau anda lulus mata kuliah ini, itulah modal hidup anda!” Fadli Zon, Helvy
Tiana Rosa, lalu sejumlah redaktur pers sekarang setahu saya lulus dalam mata
kuliah ini. Dua semester saya ikut mata kuliah ini dan keduanya mendapatkan
nilai A. Saya masih tidak tahu, bagaimana mendapatkan kembali seluruh tulisan
yang saya pernah tulis, masing-masing 1 per minggu dalam satu tahun kuliah
bersama Pak Ismail itu. Saya kehilangan copy-nya. Tulisan-tulisan itu mulai
dari fiksi sampai non fiksi. Saya ingat, ada satu-dua cerpen yang dipuji oleh
Pak Ismail karena menyediakan banyak kejutan.
Pelan-pelan saya juga tampil sebagai pembicara skala kampus.
Makalah-makalah lahir, sebagian besar tentang gerakan mahasiswa. Dari sana juga
saya menulis skripsi dengan tema “Koreksi Demi Koreksi: Aktivitas Pergerakan
Mahasiswa Pasca Malari sampai Penolakan NKK-BKK (1974-1980)”. Pengalaman saya
sebagai aktivis membawa saya kepada pergaulan di luar UI. Paling tidak, selain
Fadli Zon, saya paling banyak mewakili mahasiswa UI kala itu, baik untuk tingkat
jurusan, fakultas atau universitas. Samarinda, Surabaya, Pekanbaru, Yogyakarta,
Malang, Bandung, dan kota-kota lainnya mulai saya singgahi.
Karena jauh dari kampung, saya juga sering menulis surat. Ayah saya adalah
seorang penulis yang baik, dengan tulisan tangan yang indah, turunan dari
ayahnya (kakek saya) yang pernah jadi juru tulis pada masa Belanda. Banyak hal
yang saya perdebatkan dengan ayah saya waktu itu. Selain itu, saya juga menulis
surat kepada pacar saya di kampung, Bengkulu dan Lampung. Saya juga
berkomunikasi lewat surat dengan teman-teman aktivis di sejumlah kota, termasuk
juga dengan seorang mahasiswi Jepang di Jepang dalam bahasa Inggris yang minim.
(Keberadaan sms dan internet sekarang saya kira menjadi unsur degradasi
kemampuan penulisan para mahasiswa dan anak-anak sekolah).
Saya mulai merambah koran dan tabloid umum ketika ditawarin menulis di
Tabloid Swadesi yang dikelola oleh teman saya yang jadi reporter di sana, Bayu.
Boleh dikatakan dari sanalah saya menjadi penulis umum, terutama tentang
gerakan mahasiswa. Tabloid itu pada akhirnya bubar akibat perpecahan dalam
tubuh PDI, karena memang afiliasinya dengan PDI. Honor menulis disana Rp.
35.000-Rp. 45.000. Tulisan saya juga nongol di Harian Merdeka dan Tabloid
Mutiara milik Suara Pembaruan. Saya masih ingat mendatangi kantor Suara
Pembaruan untuk mengambil honor sebesar Rp. 66.000, lalu Rp. 6.000,-nya
dipotong pajak.
Saya juga tetap menulis puisi. Puisi bagi saya adalah kolom tersingkat yang
bisa ditulis. Dalam banyak hal yang tidak bisa dicerna secara singkat, puisi
mewakilinya. Puisi juga bisa “menyimpan” ingatan secara tidak terduga, karena
bahasanya yang tidak tersurat. Dalam sejumlah kesempatan demonstrasi dan aksi
mahasiswa, puisi-puisi saya bawakan. Bahkan, ketika maju sebagai calon Ketua
Senat Mahasiswa UI, saya lebih banyak membaca puisi ketimbang berorasi menarik
mahasiswa untuk memilih saya.
Usai kuliah, tahun 1997, krisis multidimensional menimpa Indonesia. Saya
adalah generasi terakhir para sarjana Orde Baru yang langsung kehilangan
harapan. Banyak lowongan kerja yang membatalkan penambahan karyawan, terutama
di dunia pers dan penerbitan. Cita-cita saya menjadi wartawan tidak kesampaian.
Beban sosial juga melekat, yakni bagaimana mempertahankan hidup setelah kuliah
yang menghabiskan umur dan dana. Apalagi saya banyak dibantu oleh kakak-kakak
dan adik-adik saya ketika kuliah, selain mendapatkan beasiswa mahasiswa
berprestasi dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sebesar Rp. 50.000 per
bulan.
Semula, saya bekerja di Surat Kabar Kampus Warta UI, lantai 7 Rektorat UI.
Bersama Pak Rahmat, saya menerbitkan edisi-edisi khusus berdasarkan kebutuhan
fakultas. Uang yang saya dapatkan tidak menentu, karena memang tidak ada gaji
tetap. Rata-rata penghasilannya Rp. 150.000 sampai Rp. 300.000,- per bulan.
Tetapi pekerjaan itupun tidak bertahan lama, karena ada kebijakan untuk tidak
lagi menerbitkan SKK Warta UI. Nasib membawa saya ke jalanan, yakni bergabung
dengan PT Deka Megahrani Citra, sebagai interviewer produk-produk konsumsi,
seperti makanan dan minuman. Penghasilan didapat berdasarkan berapa banyak
responden yang kita dapat. Jumlahnya dikumpulkan per bulan, kadang kurang dari
Rp. 100.000,- per bulan, kadang lebih.
Dalam era reformasi yang bergejolak itu, saya dan teman-teman UI yang
membantu Keluarga Besar UI menerbitkan juga tabloid dan jurnal, bersama teman
saya Rahmat Yananda (sekarang jadi konsultan bisnis), Andi Rahman (sekarang
dosen sosiologi FISIP UI), Dandi Ramdani (sekarang sedang menempuh pendidikan
S-3 di Belanda), Padang Wicaksono (sekarang sedang menyelesaikan studi S-3 di
Jepang), Tirta Adhitama (sekarang sedang menyelesaikan studi S-3 di Jepang) dan
Muhammad Fahri (sekarang jadi pebisnis). Arus reformasi yang bergulir itu
menyediakan waktu bagi kami untuk mengeluarkan apapun guna mengkritisi rezim
yang mulai keropos. Sikut-menyikut antar kelompok begitu kentara, kadangkala
disertai ketakutan akan dikeroyok atau diculik.
Saya terlibat dalam aksi-aksi itu sebagai alumni, termasuk berada di Gedung
DPR MPR ketika diduduki oleh mahasiswa tanggal 20 Mei 1998. Buku harian saya
dipenuhi berlembar-lembar cerita, termasuk ketika pecah kerusuhan tanggal 12-13
Mei 1998. Saat kerusuhan meledak, saya berada di Universitas Trisakti untuk
memberikan penghormatan kepada para mahasiswa yang ditembak sehari sebelumnya.
Dari sana saya saksikan betapa kelompok yang paling berani menghadapi polisi
dan tentara ternyata bukan mahasiswa, melainkan para pelajar. Sebelum siang,
kerusuhan tidak terlalu parah. Tetapi setelah para pelajar pulang sekolah,
mereka berada di barisan depan tanpa rasa takut berhadapan dengan polisi dan
tentara. Kami yang berlindung di dalam kampus hanya bisa mengusap air mata
terkena gas air mata.
Saya kembali mendapatkan kesempatan menulis ketika bekerja di lingkungan
STIE Pramita, Tangerang. Kebetulan majalah kampus itu membutuhkan tenaga kerja.
Bersama dua sahabat saya, Sugeng P Syahrie dan Luthfi Ihsana Nur, saya
mengelola majalah kampus itu. Lama kelamaan, karena perubahan politik, Pak Hadi
Soebadio yang menjadi pimpinan kampus itu terpilih menjadi Ketua Dewan
Perwakilan Daerah Partai Amanat Nasional Kabupaten Tangerang. Dari sanalah saya
terjun ke politik, yakni dengan menerbitkan tabloid Mentari. Lagi-lagi menulis
menjadi pekerjaan utama.
Lalu saya berkenalan dengan Faisal H Basri, Sekretaris Jenderal Partai
Amanat Nasional. Sejak mahasiswa saya sudah mengaguminya. Dalam waktu cepat,
sayapun bergabung dengan kelompok Faisal H Basri. Sayapun pindah dari
Tangerang, lantas tinggal di Apartemen Rasuna, Kuningan, sebagai markas
kelompok Faisal H Basri. Di apartemen itulah saya belajar politik dalam artian
paling riil, karena berdiskusi dengan genk Faisal yang lain, seperti Bara
Hasibuan, Arif Arryman, Nawir Messy, Sjahrial Djalil, Rizal Sukma, Rahmat
Yananda, Santoso, Rachman Sjarief, Aan Effendi, Tristanti Mitayani, Abdillah
Thoha, Sandra Hamid, Miranti Abidin, dan lain-lainnya. Mereka rata-rata
berpendidikan master dan doktoral, serta berasal dari sejumlah lembaga think
tank berpengaruh seperti CSIS, Econit, dan INDEF. Tugas saya adalah membikin
minum, menyapu lantai, membelikan makanan, dan mencatat hasil rapat, lalu
mendistribusikannya kepada peserta rapat.
Dunia internetpun saya kenali di apartemen Rasuna ini. Saya memasuki
berbagai mailing list, lantas menggunakan nick name, juga berdebat dengan banyak
kalangan. Informasi terbanyak memang akhirnya saya dapatkan lewat dunia maya
ini. Boleh dibilang saya selalu tidur terlambat, karena menggunakan internet
sampai dini hari. Koran-koran sudah saya baca dini hari itu di internet,
sehingga informasi terbaru selalu saya ikuti.
Karena memang hidup di lingkungan politikus dan intelektual, sayapun
memberanikan menulis. Tulisan pertama dan kedua saya kirimkan ke Kompas.
Tulisan ketiga diterima. Semangat barupun muncul, karena Kompas adalah koran
terbesar dan berpengaruh di Indonesia. Tulisan-tulisan lainpun juga masuk ke
Kompas, dan media lainnya. Jadilah saya dikenal sebagai penulis Kompas, sesuatu
yang menjadi magnet bagi siapapun untuk menyampaikan pikiran mereka kepada
saya. Selain menulis, saya juga menjadi semacam asisten politik Faisal H Basri.
Kesibukannya yang luar biasa membutuhkan manajemen. Saya ditugaskan untuk
membantunya, sekalipun untuk mengatur jadwal Faisal sangatlah rumit.
Kolom Demi Kolom
Akhirnya, saya menjadi penulis. Produktifitas saya begitu meluap. Saya juga
menjadi generasi pertama penulis kolom di sejumlah website dengan honor
lumayan. Booming internet waktu itu menyebabkan banyak permintaan atas kolom,
terutama kolom-kolom politik. Detik.com, Berpolitik.com, Lippostar.com,
Satunet.com, Indonesiamu.com, dan lain-lainnya menjadi tempat saya menyalurkan
bakat dan kemampuan penulisan saya. Namun saya juga tetap terus mengirimkan
tulisan demi tulisan ke koran dan majalah.
Karena memang “kontrak” saya dengan kelompok Faisal mau habis, saya akhirnya
melamar pekerjaan ke dua institusi, yakni CSIS dan radio 68h. Kebetulan Rizal
Sukma yang menjadi kelompok Faisal di PAN adalah Direktur Studi CSIS, begitu
juga anggota gank Rasuna lainnya yakni Santoso yang menjadi Direktur Radio 68h.
Ketika saya mulai kehilangan harapan, karena beban kebutuhan hidup yang mulai
Senin-Kamis, nyatanya saya diterima di kedua tempat itu. Tetapi, atas saran
Santoso dan teman-teman lain, termasuk dukungan dari Faisal, Arryman, dan Bara,
saya akhirnya memutuskan untuk bekerja di CSIS. Saya mulai masuk tanggal 1
Desember 2000.
Dengan status baru sebagai peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial
CSIS, kesempatan buat saya makin terbuka lebar. Apalagi kelompok Faisal makin
patah arang dengan PAN. Tanggal 21 Januari 2001, sebanyak 16 orang fungsionaris
dan pendiri PAN mengundurkan diri, termasuk saya yang sebetulnya baru bergabung
resmi dalam Departemen Seni dan Budaya DPP PAN pascakongres PAN di Yogyakarta
tahun 2000. Sebagai orang dekat Faisal, saya punya banyak kesempatan
mengikutinya, termasuk dalam rapat-rapat dan pertemuan-pertemuan penting di
luar jabatan saya di Departemen Seni dan Budaya. Saya juga mulai mengambil
tempat sebagai salah satu orang yang diberi kesempatan mengambil sikap atau
keputusan atas apa yang akan dilakukan oleh kelompok.
Setelah mundur dari dunia politik, sekalipun tetap dikenal sebagai orang
PAN, saya mempunyai ketertarikan mendalam kepada kelompok-kelompok masyarakat
sipil. Karena kelompok Faisal sudah jarang bertemu, saya akhirnya bergabung
dengan sejumlah kelompok masyarakat sipil, antara lain Forum Indonesia Damai.
Ketika banjir melanda Jakarta, saya bergabung dengan kelompok Satu Merah
Panggung Ratna Sarumpaet. Dalam kapasitas sebagai anggota DPP PAN, saya juga
pernah menjadi tim perumus dan penulis akhir buku Skenario Masyarakat Sipil
Indonesia tahun 2010, dimana saya berkenalan dengan banyak aktifis muda kala
itu, seperti Munarman YLBHI. Saya juga menjadi salah satu deklarator
Perhimpunan Rakyat Jakarta untuk Pemberantasan Korupsi (berantaS). Sebetulnya,
simbol “S” dengan huruf besar dalam KontraS dan BerantaS itu bukan timbul tanpa
sengaja, melainkan diidentikkan dengan Soeharto, sesuatu yang jarang diketahui
oleh kalangan luar.
Dan sayapun menikahi kekasih yang mendampingi saya selama 6 (enam) tahun
sejak di bangku kuliah: Faridah Thulhotimah, anak jurusan Ilmu Kimia Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UI. Ia menjadi sumber inspirasi
saya, sekaligus kekuatan saya ketika berhadapan dengan begitu banyak persoalan
hidup. Pernikahan saya dihadiri oleh sejumlah aktifis, peneliti, politikus, dan
teman dekat. Mustafa Kamal membacakan doa, sementara Erry Riyana
Hardjapamengkas bertindak sebagai tuan rumah alias bapak angkat saya. Faisal H
Basri menjadi saksi. Biaya pernikahan saya datang dari kantong-kantong pribadi
orang-orang baik itu.
Sebagai aktivis dan peneliti, saya juga menjadi penyiar radio, yakni di
Radio Delta FM dan Jakarta News FM. Karena bergabung dengan Koalisi untuk
Konstitusi Baru yang dikomandani oleh Todung Mulya Lubis dan Bambang
Widjajanto, saya akhirnya berkenalan dengan banyak ahli hukum dan politik dari
berbagai kampus. Saya juga pernah menjadi host acara di Trijaya FM. Undangan
sebagai pembicarapun berdatangan, termasuk di luar daerah. Inilah dunia yang “menenggelamkan”
saya ke dalam pergaulan kalangan civil society di Indonesia. Sejumlah nama yang
hadir di media massa-pun akhirnya saya kenali satu demi satu. Sayapun juga
mengenali Teten Masduki, justru setelah saya aktif di BerantaS yang merupakan
“pecahan” dari Indonesia Coruption Watch. Dari FID saya kenal Erry Riyana
Hardjapamengkas.
Sayapun terus menjadi kolomnis. Sepanjang tahun 2001 saya menulis 67
artikel atau kolom; tahun 2002 sebanyak 68; tahun 2003 sebanyak 60, dan tahun
2004 naik lagi menjadi 65. Itu yang berhasil saya dokumentasikan, karena memang
ada sejumlah yang lain yang kurang terlacak. Saya juga menulis dalam jurnal
ilmiah, menyumbang tulisan untuk sejumlah buku, dan menulis makalah untuk
seminar dan diskusi. Boleh dibilang kegiatan menulis adalah kegiatan utama
saya. Saya ingat ucapan dosen saya, pak Ismail Marahimin: “Kalau anda lulus dan
mendapatkan nilai A, itulah modal hidup anda.”
Ide Tulisan
Lalu darimana ide-ide tulisan saya. Pertama, tentunya berangkat dari
kegelisahan pribadi. Saya merupakan pribadi yang gelisah. Kalau saya merasakan
sesuatu, biasanya saya mengambil buku kecil mencatat ide-ide saya. Atau
langsung menulisnya saat itu juga. Karena dilahirkan dari keluarga miskin dan
hidup dalam penderitaan di Jakarta, selalu saja saya curiga kepada penguasa dan
kekuasaan. Boleh dikatakan saya mempunyai banyak musuh: tentara, laskar, partai
politik (terutama Partai Golkar), dan lain-lainnya. Hal inilah yang membuat
saya terus memproduksi tulisan-tulisan kritis dan emosional, terutama kalau
arogansi kekuasaan muncul. Ide-ide itu juga lahir dari semangat penolakan
kepada argumen-argumen orang lain. Selama tinggal di Tangerang, saya terbiasa
mengkliping artikel-artikel koran dari penulis ternama, lantas mencorat-coret
pikiran-pikiran mereka.
Kedua, ide tulisan yang bersifat perubahan dan pembaharuan muncul dari
keterlibatan saya di banyak organisasi masyarakat sipil, misalnya: Forum
Indonesia Damai, Koalisi untuk Konstitusi Baru, Gerakan Tidak Pilih Politisi
Busuk, Perhimpunan Rakyat Jakarta untuk Pemberantasan Korupsi, Perkumpulan
Masyarakat Jakarta Peduli Papua, Koalisi Media untuk Pemilu Bebas dan Adil,
Komisi Darurat Kemanusiaan, Kelas Indonesia Alternatif dan lain-lain. Berbagai
pemikiran yang berkembang dalam forum-forum itu saya teruskan ke media.
Apalagi, sebagai orang yang mulai dikenal sebagai pengamat politik, saya
terkadang merasa jengah dengan apa yang dikutip dari wawancara dengan saya.
Biasanya, dari sejumlah wawancara panjang, tampilan di media tidaklah utuh.
Makanya, untuk “meluruskan”-nya dan menampilkannya secara utuh, saya memutuskan
menulis tema dari wawancara yang berangkat dari peristiwa politik itu.
Ketiga, berasal dari fokus penelitian saya selama di CSIS, yakni menyangkut
otonomi daerah, partai politik, demokrasi dan konflik. Lingkungan pergaulan di
CSIS begitu menyenangkan, karena terdapat banyak nama yang dikenal oleh publik
luas, seperti J Kristiadi, Kusnanto Anggoro, Rizal Sukma, Tommy Legowo, dan
lain-lainnya. Beberapa tugas kantor akhirnya saya rasakan bisa disampaikan
kepada publik. Dari sinilah muncul tulisan-tulisan yang tidak berdasarkan
peristiwa politik, melainkan lebih kepada pengembangan konseptual atau bahkan
hanya sekadar pelipur lara. Tulisan-tulisan ini lebih reflektif, karena mencoba
melihat sesuatu dari luar praktek politik keseharian.
Keempat, berasal dari fokus pribadi saya, yakni menyangkut tema masyarakat
sipil, Papua dan Aceh. Perjalanan saya ke daerah juga menjadi inspirator,
makanya muncul tulisan soal Samarinda, Pekanbaru, Maluku, Aceh, Papua, dan
lain-lain. Saya selalu ingin mencari tahu ada apa dibalik perlawanan atas
Jakarta. Sesuatu yang saya cita-citakan sejak dulu, yakni bertualang ke banyak
negeri, akhirnya tercapai. Tidak terasa, saya menjelajahi sebagian besar
ibukota provinsi di Indonesia. Hanya Gorontalo, Kendari (Sulawesi Tenggara),
Tanjung Pinang (Kepulauan Riau), Mamuju (Sulawesi Barat) dan Monokwari (Irian
Jaya Barat) yang belum saya kunjungi. Indonesia nyatanya tidak seperti yang
kita baca lewat informasi buku dan media.
Saya juga mendapatkan ide tulisan dari apa yang saya baca. Kadang-kadang
sepotong berita dan kalimat di sesobek koran. Biasanya, kalau saya ingin
menulisnya, tema atau ide itu terus-menerus mendesak saya untuk segera
dituliskan. Kalau saya sudah mulai menulis, biasanya saya melupakan yang lain.
Tetapi saya juga bisa menulis di tengah kebisingan atau pembicaraan. Kadang,
dalam seminar, ketika menjadi pembicara, atau ketika berbicara dengan orang
lain, saya tiba-tiba berhenti dan menuliskan sesuatu di catatan atau handphone
atau XDA saya. Saya takut kalau ide atau potongan kalimat itu tiba-tiba hilang,
karena saya pasti menyesalinya.
Anehnya, kalau saya membaca buku serius atau teoritis, saya justru tidak
akan bisa menulis beberapa hari. Saya akan tenggelam dalam buku itu. Biasanya
kalau ada sesuatu yang terbersit, saya menulis di pinggiran buku itu, misalnya
bagian yang hendak saya kutip untuk makalah atau ide yang hendak saya
pertentangkan dengan apa yang tertulis di buku itu. Makanya, saya kadang-kadang
agak kesulitan untuk “larut” dalam keadaan, karena itu bisa mematikan saya.
Ide juga bisa muncul dari orang lain, dan ini yang dikritik oleh teman saya
sebagai tidak genuine. Misalnya, beberapa redaktur opini meminta saya menulis
tema tertentu dengan waktu tertentu. Biasanya saya cepat menuliskannya, karena
mengejar deadline. Kenapa bisa cepat? Karena saya mengikuti perkembangan berita
dengan rutin, lalu membangun opini tersendiri atas berita atau peristiwa itu.
Hanya, saya merasa menulisnya tidaklah penting atau tidak punya waktu. Baru
ketika diminta oleh redaktur opini media massa itu saya merasa, “O, menulis
soal ini penting, toh?” Kadang, karena merasa bosan atau tulisan yang saya
kirim lama dimuat atau tidak dimuat sama sekali, saya berhenti menulis dan menganggap
semua hal tidak penting, kecuali tulisan saya yang lama baru dimuat itu atau
yang tidak dimuat itu.
Struktur Penulisan
Lalu bagaimana saya menuliskan sesuatu yang “penting” atau “tidak penting”
itu sehingga tersaji di depan publik dalam lembaran-lembaran koran? Bagaimana
struktur penulisan yang baik? Berdasarkan pengalaman, menurut saya, tulisan
yang baik itu harus memuat unsur-unsur berikut.
Pertama, kuat dalam data. Kadangkala saya juga ceroboh dalam hal ini,
terutama menyangkut nama, peristiwa, singkatan, atau bahkan tanggal. Tetapi,
karena peristiwa politik berlangsung cepat, soal data itu juga tidak selalu
akurat ditulis oleh media, karena informasi pagi hari bisa berubah sore dan
malam hari. Tetapi, apapun itu, penulis yang baik hendaknya jangan sekali-kali
memanipulasi data.
Kedua, sedikit teori. Dulu saya sempat menulis dengan cara mengutip buku,
bahkan juga sekarang. Ada kelompok pembaca yang menyenangi jenis ini, terutama
kalau kita mengutip buku atau artikel terbaru berbahasa Inggris, seperti yang
banyak dijumpai di perpustakaan CSIS. Tetapi, lama kelamaan, saya merasa cara
seperti ini tidaklah menarik. Alasannya antara lain, analisa atau teori dalam
buku itu mencakup spektrum atau konteks tertentu. Teori transisi atau konsolidasi
demokrasi, misalnya, tidak sama antara Philipina, Brazil, Thailand atau
Malaysia. Kalau hanya mengambil kesimpulan akhir dari sebuah buku atau artikel,
berdasarkan uraian panjang lebar atas persoalan tertentu, berarti yang terjadi
adalah inplantasi atau pencangkokan. Dalam soal artikel koran, saya sependapat
dengan Bara Hasibuan betapa rata-rata kolom di Indonesia terlalu berat,
reflektif dan teoritis. Referensi Bara tentunya International Herald Tribune
dan koran-koran luar negeri lainnya.
Ketiga, tidak mendalam, tetapi juga tidak dangkal. Kalau ingin menulis
mendalam, pakai kerangka teori, sebaiknya tulisan itu dikirimkan ke jurnal atau
lebih baik lagi yang ditulis adalah buku, bukan artikel atau kolom. Yang
diperlukan adalah bingkai dari keseluruhan tulisan dan bagaimana bingkai itu
diberi daging opini dan bahkan selimut pendapat. Kalau terlalu dalam, bisa-bisa
tulisan itu malah menyesatkan atau liar kemana-mana. Makanya, bagi sejumlah
kawan penulis opini media, biasanya yang dicari adalah judul tulisan terlebih
dahulu, ketimbang isinya. Tetapi ada juga yang menjadikan pemberian judul
setelah tulisan selesai. Saya menggunakan keduanya, sekalipun saya lebih senang
dan cepat menulis kalau sudah menemukan judul yang cocok.
Keempat, ringkas. Ringkas bukan berarti padat atau ringkasan. Saya biasanya
kebingungan kalau membaca kolom atau artikel ekonomi yang dipenuhi dengan angka
dan prosentase serta istilah-istilah teknis lainnya. Pembaca koran yang baik
mungkin memerlukan kamus khusus untuk bisa memahami artikel itu. Tetapi
bagaimana bisa anda menyiapkan kamus di terminal bus atau di kursi pesawat yang
terbang jauh di atas langit? Tulisan singkat bisa memuat unsur 5W-1H, tetapi
sekaligus juga mengandung tiga hal: pembuka (angle), isi dan penutup
(refleksi). Tulisan ringkas juga sedapat mungkin menggunakan pilihan kata
populer/sederhana, ketimbang teknis ilmiah.
Kelima, tepat sasaran. Anda ingin menujukan tulisan buat siapa? Kalau saya
menulis agak panjang (1200 karakter, misalnya), biasanya saya tujukan tulisan
itu ke kalangan mahasiswa atau pembaca yang biasa mengkliping artikel. Tetapi
kalau tulisan pendek, dalam pikiran saya langsung tergambar siapa saja orang
yang saya “tembak” dengan tulisan itu. Tentu berlainan antara tulisan yang
ingin ditujukan ke kalangan pengambil keputusan dengan tulisan kepada khalayak
ramai yang ingin “memahami” sebuah peristiwa. Sebagaimana media mencari pangsa
pasar, maka dalam diri penulis mestinya juga sudah tersedia sejumlah pangsa
pasar bagi pembaca tulisan-tulisannya.
Keenam, karakter media. Media tentu juga memiliki visi dan misi. Karakter
masing-masing media berlainan. Saya punya catatan khusus tentang media-media
tempat saya mengirimkan tulisan saya, serta saya gunakan untuk mengirimkan
tulisan saya. Biasanya, saya tidak berpikir untuk menulis sebuah kolom atau
artikel dengan cara sesudah selesai baru dipikirkan mau dikirim kemana. Ketika
menulis, saya sudah tahu tulisan ini ditujukan ke media apa, lalu secara
“otomatis” kalimat-kalimat yang saya bangun juga akan “sebangun” dengan media
itu. Hal ini memang berat, karena karakter penulis bisa-bisa hilang. Tetapi
saya selalu mempunyai sejumlah hal yang menurut saya “khas” saya, sehingga
orang mengenali itu sebagai tulisan saya. Saya sebetulnya juga berharap bahwa
tulisan-tulisan saya dibaca bukan karena saya penulisnya, tetapi karena ada
cita-rasa tersendiri dari tulisan itu.
Ketujuh, sebetulnya boleh ada kutipan (awal, tengah atau akhir tulisan).
Tetapi ini konsep yang sangat klasik. Terkadang saya tidak mengutip, tetapi
memberikan cerita. Kutipan juga seringkali menjadi sempalan dari sebuah
tulisan, karena kalau tidak tepat menempatkannya, bisa-bisa ia menjadi semacam
benalu atau kangker. Kutipan yang baik adalah yang bisa menyatu dengan
keseluruhan tulisan. Dulu saya mengutip lewat wawancara, sekarang yang makin
sering adalah lewat sms. Saya pernah kaget ketika Revrisond Baswir menulis di
Republika dengan diawali oleh sms dari saya. Saya juga pernah menulis di Koran
Tempo dengan kutipan langsung sms dua orang menteri, tetapi saya tidak
menyebutkan siapa menteri itu karena kurang etis.
Sebetulnya apa yang saya tuliskan ini sangat pribadi. Mungkin banyak yang
tidak memahaminya, karena memang keluar dari kerangka umum. Sebelum menjadi
penulis, bertahun-tahun saya membeli buku-buku tentang penulisan, baik ilmiah
atau populer. Banyak teori penulisan yang muncul dalam buku-buku yang mudah
didapatkan di loakan itu. Tetapi, ketika saya menulis, tentu buku-buku itu
tidak ada lagi di meja saya. Sesekali saya memang perlu membacanya untuk
sekadar mengambil jarak atas tulisan-tulisan saya sendiri.
Tips Khusus
Bagi penulis baru atau lama, ada beberapa tips khusus yang saya rasa perlu,
terutama untuk “menembus” media massa mapan. Anda bahkan bisa menjadi penulis
produktif kalau mempraktekkannya. Ketika saya mempraktekkannya, dulu, saya
pernah kaget ketika tanggal 9 bulan itu saya sudah menemukan 10 tulisan saya di
media cetak. Artinya, tulisan saya itu lebih dari satu dalam sehari. “Kegilaan”
itu tidak saya lanjutkan, karena ada banyak nasehat agar saya bisa menjaga
jarak. Apalagi motif saya menulis kala itu salah satunya uang, karena dari menulis
saja saya bisa mendapatkan Rp. 5 Juta per bulan.
Tips khusus itu adalah, pertama, perhatikan headline atau tajuk rencana
harian/majalah yang bersangkutan. Dari headline dan tajuk rencana itu, kita
bisa membaca kearah mana setting agenda dari media yang bersangkutan. Kalau
anda temukan headline tertentu dan tajuk rencana tertentu ditulis berkali-kali,
tetapi tidak ada juga opini yang ditulis pihak luar, maka kesempatan masuknya
tulisan anda bisa 100%. Saya sering “tertawa” ketika menemukan kolom atau opini
yang tidak terlalu bagus, tetapi tetap dimuat, karena memang sangat sesuai
dengan concern media itu dalam tajuk rencana dan headlinenya. Kalau perlu, anda
kutip tajuk rencana media tersebut, lalu mengupas dan mengkritiknya.
Kedua, temukan judul yang pas dan ringkas terlebih dahulu. Judul adalah
otak dan otot bagi sebuah tulisan pendek. Sering malah sebuah tulisan dimuat
karena judulnya, sekalipun isinya biasa-biasa saja. Karena memang ditujukan
kepada orang yang mungkin sedang minum kopi atau istirahat, sebuah artikel
pendek akan langsung dibaca ketika judulnya menarik. Isinya bisa apa saja,
tetapi judul sudah menjadi iklan yang luar biasa. Saya sering mendapatkan
komentar atas tulisan, hanya karena judulnya. “Kursi RI 1 untuk Apa, Jenderal”
(Kompas, 29 April 2004) termasuk yang mendapatkan banyak reaksi positif.
Padahal, tulisan itu sempat dirombak dan diganti judul, sekalipun isinya tidak
banyak berubah.
Ketiga, kalau ingin menjadi penulis terkenal, sebaiknya kejar media “besar”
terlebih dahulu, namun jangan berlebihan. Saya kira “teori” kirim 100 artikel
sekalipun ditolak gugurkan saja. Untuk apa anda mengirim 100 artikel kalau
semuanya tidak dimuat? Kalau anda betul-betul bertahan dalam susah, lalu
memperbaiki tulisan anda, lantas sekali sebulan mengirim ke media besar yang
sama, saya kira anda akan mendapat tempat. Tetapi jangan lupa, bahwa dengan
cara seperti itu anda sebetulnya harus bersiap-siap untuk mendiskusikan tulisan
anda jauh lebih dalam dari apa yang anda tulis.
Keempat, usahakan menjadi spesialis. Banyak yang menyebut saya bukan
spesialis ilmu tertentu, karena tema yang saya tulis terlalu banyak.
Spesialisasi saya, ya, sebagai penulis saja. Akan lain misalnya seorang penulis
mempunyai spesialisasi ilmu pengetahuan tertentu, karena dia akan dicari
pascatulisan itu terbit. Saya akui, dulu saya menulis banyak hal, sekalipun
pelan-pelan ingin saya arahkan ke satu-dua tema saja. Tetapi kesulitan menjadi
spesialis juga ada, yakni anda akan sangat tergantung kepada momentum. Penulis
yang baik harus bisa menyiasati momentum, sekalipun punya spesialisasi, yakni
dengan menjadikan peristiwa apapun sebagai jalan pembuka. Ahli-ahli pemilu,
misalnya, akan sulit menulis ketika musim pemilu sudah lewat. Kalau ia kreatif,
setiap bulan bisa saja menulis segala sesuatu lalu mengaitkannya dengan pemilu.
Kelima, jangan lupa membikin tabungan naskah. Anda pasti akan
membutuhkannya, terutama kalau anda betul-betul menjadi penulis besar. Ketika
produktifitas tulisan saya begitu tinggi, sebagian saya ambil dari tulisan
ketika mahasiswa. Untunglah saya memasukkan beberapa ke dalam komputer,
sehingga tinggal mengolahnya lagi sesuai dengan kebutuhan sekarang. Akan
tetapi, model dan karakter tulisan mahasiswa itu tentulah berlainan dengan
sekarang. Tetapi ada keinginan tersendiri betapa apa yang pernah saya tulis itu
harus sampai kepada publik, kalau memang saya menganggap tulisan itu bisa
memberikan perspektif.
Penutup
Apa yang saya tuliskan ini tentulah belumlah semuanya. Apalagi di tengah
kesibukan sekarang, tentu semakin sulit bagi saya meluangkan waktu untuk
menulis. Harus ada banyak penyiasatan atas waktu. Dulu, apabila saya bosan atas
sesuatu, biasanya saya pergi ke tiga tempat, yakni toko buku, pasar dan laut.
Dengan mengunjungi toko buku, saya merasa menjadi orang paling bodoh di dunia.
Kalau ke pasar dan menemukan kuli, ibu-ibu penjual sayur, atau bau busuk, saya
merasa sebagai orang paling malas di dunia. Di pinggir pantai saya merasa
menjadi orang paling kecil di tepian galaksi. Biasanya, saya kembali segar,
lantas berusaha untuk tidak malas.
Dari menulis, saya mendapatkan banyak manfaat. Seringkali orang merasa saya
orang pintar. Padahal, banyak orang yang lebih pintar dan cerdas yang saya
temui dan kagumi. Saya justru merasa, kepintaran bukan ukuran untuk menjadi
seorang penulis. Yang paling penting barangkali empati atau keinginan merasakan
apa yang diderita atau dipikirkan atau dirasakan orang lain, seperti orang lain
itu memikirkan atau merasakannya. Kalau sisi humanisme hilang dalam diri saya,
barangkali saya tidaklah akan bisa menjadi seorang penulis.
Saya memang mendapatkan uang, “ketenaran” dan segala macam hal lainnya
dengan menulis. Banyak yang tertipu dengan usia saya, pendidikan saya (saya
baru menyelesaikan S-1 Jurusan Ilmu Sejarah UI), sosok saya (saya tidak pakai
kacamata dan agak gaul, bukan ada di perpustakaan penuh debu), orangtua saya
(saya bukan anak jenderal, pengusaha besar atau pejabat negara, karena ayah-ibu
saya hanyalah petani dan pensiunan pegawai negeri sipil golongan rendah), atau
kondisi keuangan saya (sekarang memang sudah lebih mapan, punya mobil, tiga
kantor, tetapi saya tinggal di rumah mertua di lingkungan yang “buruk”: banyak
preman, kyai, etnis, juga ada banyak penjual narkoba, pelacur, dll, di kawasan
Jalan Krukut, Jakarta Kota), dan lain-lain.
Sebagai pemompa semangat, dengan menulis katakanlah 350 artikel saja selama
5 tahun ini, lalu rata-rata artikel itu dihargai Rp. 500.000,- (ada yang lebih
ada yang kurang), berarti saya sudah mengumpulkan uang kira-kira sebesar Rp.
175.000.000,- atau Rp. 35.000.000,- setahun. Kalau ukurannya uang, sebetulnya
menulis artikel hanyalah perantara kepada kegiatan lain, seperti seminar,
pelatihan, dan lain-lainnya yang uangnya lebih besar, selain tentunya tawaran
gaji yang lebih tinggi dari lembaga-lembaga yang menginginkan saya bekerja di
sana. Silakan tebak, berapa saya punya penghasilan.
Menjadi penulis menurut saya bukan berarti harus menjadi miskin. Tetapi
tetap saja menjadi sebuah kesalahan pikiran kalau tujuan menjadi penulis adalah
mencari kekayaan atau ketenaran. Pengalaman menunjukkan, ketika saya ingin
bersembunyi dan menyendiri, tiba-tiba ada saja yang kenal dan harus diajak
bicara. Kehadiran televisi sebetulnya bisa menggerus kemampuan seorang penulis,
kalau penulis itu yang seharusnya menulis, tetapi harus hadir di televisi
menjadi seorang pembicara atau komentator.
Lebih dari segalanya, kebutuhan penulis di Indonesia masihlah besar. Selain
itu, nasib penulis Indonesia juga kurang beruntung. Jangankan untuk mentraktir
orang lain, bahkan untuk makan layak saja tidaklah cukup. Saya punya sejumlah
teman yang duluan terkenal, tetapi hidupnya pas-pasan karena hanya mengandalkan
tulisan. Karena media massa juga punya keterbatasan, misalnya paling tinggi
memuat dua tulisan dari satu penulis dalam sebulan, kehidupan penulis bukanlah
sesuatu yang menyenangkan. Untuk makan saja tidak cukup, apalagi untuk membeli
buku, bepergian, meneliti, atau ketemu dengan orang lain mendiskusikan sesuatu.
Bagi saya, nasib penulis haruslah diperbaiki. Sekarang saya mencoba
membangun sebuah organisasi yang menaungi penulis, bersama Andrinof Chaniago,
Jeffrie Geovanie, Saldi Isra, dan lain-lainnya. Mungkin namanya Indonesian
Writer’s Institute (IWI). Gagasan ini sudah lama saya perjuangkan dan peminatnya
tidak sedikit. Kehadiran organisasi ini tinggal menunggu waktu, paling lama
tahun depan. Dengan cara itu, mudah-mudahan ada banyak jalan untuk menghasilkan
para penulis, juga memperbaiki kehidupan (ekonomi) para penulis, tanpa mereka
harus kehilangan jati diri, cita-cita, dan idealismenya.