Author: Novriantoni Kahar *)
Sejujurnya, almarhum bapak saya jauh lebih terkesima kepada almarhum Cak
Nur daripada saya. Semasa hidupnya, bapak memang tidak banyak mereguk
kenikmatan hidup dunia. Saya paham, bapak adalah sosok yang menurut istilah
sufisme disebut zuhud. Setelah belajar sosiologi di Pascasarja UI, saya
mendapatkan istilah lebih keren dari Max Weber untuk orang seperti bapak: ia
sosok yang inner worldly ascetist.
Karena cukup asketis, acara televisi yang paling dia nikmati hanya berita
dan ceramah agama. Tentu ada banyak stok penceramah di televisi kita. Tapi yang
terbanyak dari yang banyak hanya mengulang yang itu-itu juga. Cak Nur lain.
Pada renungan-renungan agamanya, bapak seakan menemukan kebaruan dan kedalaman
wawasan, selain pada ahli tafsir kita, M. Quraish Shihab. Ya, kebaruan dan
kedalaman telaah agama. Tapi bukankah itu ciri yang wajar dari orang yang
disebut ulama?
Meski tak ekplisit berpesan agar menjadi ulama intelek seperti Cak Nur atau
Quraish Shihab, jelas bapak menginginkan anaknya berpengetahuan luas. Tandanya
dapat dilihat tidak hanya dari susah-payahnya dia membiayai sekolah saya di
Gontor kemudian Mesir, tapi juga dalam perbualan kami di dalam rumah. Dulu,
saya suka sebel karena meja makan selalu menjadi ajang diskusi apa saja
oleh bapak. Terutama soal agama. Soal akidah dan tasawuf pasti bahasan
favoritnya. Belakangan saya sadar, kritisisme juga bisa ditata dan diasah dari
atas meja.
Saya tak heran kalau bapak mengagumi Cak Nur. Soalnya, untuk pengajian
agama, dia telah banyak berkelana dari satu ustad kampung ke ustad lainnya.
Sehari menjelang ajalnya, saya baru tahu kalau dia pun punya guru spiritual
yang cukup berwawasan. Kepada banyak guru spiritual, biasanya dia hanya
melontarkan pertanyaan. Pertanyaan kritis; bahkan sangat kritis untuk level ustad
kampung. Misalnya soal apa hakikat setan atau iblis itu; seperti apa wujudnya.
Dan kalau bersosok, di mana dia bisa disua agar bisa diajak berkelahi.
Biasanya, kalau sang guru bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan pelik seperti
ini, bapak akan betah duduk bersila berlama-lama. Bila tidak, biasanya dia
cepat berpisah dan hanya berkeluh-kesah dengan diri sendiri.
Pintu-pintu Menuju Tuhan
Mohon maaf bila saya agak berpanjang-panjang tentang bapak. Tapi
sejujurnya, jika mengenang Cak Nur, saya tak bisa melupakan bapak walau maqam
keduanya sungguh jauh berbeda. Bapak hanya tamatan SD, sementara Cak Nur
terus makan bangku sekolah.
Namun begitu, bila usai menyimak Cak Nur, pelbagai pertanyaan berkecamuk di
dalam otak bapak, dan sayalah yang harus ikut menanggung akibatnya. Karena tak
bisa mengabaikan bapak, saya terpaksa bergiat membaca buku-buku Cak Nur.
Tapi buku Cak Nur yang tersedia di rumah dan paling berguna bagi saya
hanyalah Pintu-pintu Menuju Tuhan. Buku ini biasanya saya buka untuk
modal berdiskusi dengan bapak maupun memenuhi undangan ceramah. Tapi apakah
bahan-bahan Cak Nur nyambung dengan tingkat pemahaman orang di Kampung
Dagang, Rengat, Riau, sana? Ternyata bisa. Persoalannya tinggal menyederhanakan
bahasanya dari bentuk ungkapan orang kota menjadi bahasa orang kampung.
Substansinya tidak usah diubah.
Kebetulan, Pintu-pintu Menuju Tuhan mungkin karya Cak Nur yang
paling mudah karena ditulis dengan bahasa yang sederhana, juga pendek-pendek
dan enak untuk dicerna. Bahkan, sebagai sesama alumni Gontor, saya cukup akrab
dengan idiom-idiom yang digunakan Cak Nur dalam buku ini. Cak Nur misalnya, tak
jarang bertolak dari hadis-hadis ataupun pepatah Arab (mahfuzhât) yang
sudah kami hafal sejak kelas rendahan di Gontor dulunya.
Kaidah-kaidah ushul fikih yang dipakai Cak Nur pun sebetulnya banyak yang
berasal dari buku al-Qawâid al-Fiqhiyyah Gontor kelas tiga. Jadi,
membaca Cak Nur semacam déjà vu dari apa yang pernah saya hafal dan
simak sewaktu mondok. Yang bertambah bukan materinya, tapi pemahaman tentang
apa yang selama ini saya dapatkan dari pesantren. Pada titik ini, Cak Nur
seakan-akan sedang mengamalkan kaidah ilmu pendidikan Gontor yang sering kami
kutip: soal cara lebih penting dari materinya (altharîqah ahammu min
al-mâddah).
Nah, pada aspek cara itulah Cak Nur amat menawan dan sangat istimewa.
Sewaktu liburan pesantren, saya masih suka ceramah berapi-api bila diundang.
Persis seperti ketika belajar muhâdarah (latihan berpidato) ala di
pondok pesantren dulu. Tapi sepulang dari al-Azhar, Mesir, lebih sering
menyimak Cak Nur di televisi atau membaca bukunya, saya mulai mengubah cara.
Posisi duduk lebih saya sukai daripada berdiri. Pemaparan isi yang tenang dan
lebih tertata, ditambah bumbu-bumbu kisah orang arif bijaksana, kini menjadi
cara kesukaan saya. Itu tak lepas dari pengaruh Cak Nur.
Injeksi pengaruh Cak Nur lebih terasa lagi ketika saya memoderatori diskusi
Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia (PPMI) Mesir, saat Cak Nur berkunjung
ke sana tahun 2000. Saya sudah lupa topik diskusinya apa. Yang saya ingat, saat
itu saya harus mengatur lalu lintas diskusi antara Cak Nur dengan mahasiswa
Mesir yang ingin menyiangi pemikiran-pemikirannya yang dianggap kontroversial. By
the way: Ada dua sosok pemikir Indonesia yang kurang sedap pamornya di
kalangan mahasiswa Kairo waktu itu. Satunya Cak Nur, yang lain alumnus Mesir
sendiri, Pak Quraish Shihab, terutama pendapatnya soal jilbab. Yang terakhir
ini kemudian menjadi Duta Besar Indonesia di Mesir.
Diskusi berjalan sukses dan Cak Nur, sebagaimana pembawaannya, tetap tenang
menghadapi para mahasiswa yang sebetulnya sedang ingin menyudutkan atau
“menelanjangi” pemikirannya. Yang membuat saya terkesan saat itu, betapa
lenturnya lidah Cak Nur melantunkan ayat ini dan ayat itu, bahkan mengutip pemikir-pemikir
Islam klasik sekalipun demi menyanggah argumennya. Alih-alih terpojok, justru
borok kebanyakan mahasiswa Mesir-lah yang tersingkap, karena mereka ternyata
tidak pernah serius membaca karya-karya intelektual Islam klasik itu.
Seusai diskusi, saya sempat duduk semeja dengan Cak Nur. Saat itulah saya
punya kesempatan berdiskusi dengannya tentang pemikiran keislaman yang saya
baca, terutama dari pemikir-pemikir Arab kontemporer. Sial bagi saya,
kebanyakan pemikir-pemikir Arab yang saya sebutkan sudah banyak diketahui dan
dibaca Cak Nur. Hassan Hanafi, Mohammed Arkoun, Muhammad Abid al-Jabiri, dan
lainnya. Referensi-referensi saya seakan-akan tidak memberi nilai tambah di
mata Cak Nur.
Intinya, saya pun belum banyak tahu tentang Cak Nur. Buku Cak Nur, terutama
Pintu-pintu Menuju Tuhan, baru sebatas membantu saya tampak keren dan
intelek ketika berceramah di tingkat kampung. Soalnya, ada unsur refreshing dan
tidak mengulang yang itu-itu saja dalam ide-ide Cak Nur. Misalnya, saat membahas
takwa. Para penceramah biasanya berbaik sangka bahwa jamaahnya tahu belaka apa
itu hakikat takwa. Tapi melalui Cak Nur, kita belajar utak-atik asal mula kata,
lalu memberi makna dan isi terhadap kata maupun istilah. Isi dari takwa itu
misalnya, bisa dia ulas sedemikian canggihnya, lengkap dengan kutipan beberapa
ayat atau hadis yang menerangkan konsep nan abstark itu. Belakangan saya tahu,
begitulah cara tafsir tematik beroperasi dan karena itu pula tidak mengherankan
bila Mas Dawam Rahardjo yang tidak berlatar belakang pendidikan agama bisa
menulis kitab tafsir yang sempat dihebohkan itu.
Gas dan Rem
Perkenalan lebih serius dengan sosok dan pemikiran Cak Nur baru terjadi
ketika saya mulai aktif di Jakarta. Kalau di kampung bagi saya Cak Nur hanya
berguna untuk memperdalam isi ceramah, di Jakarta orang bicara soal
signifikansi pemikirannya dalam konteks keislaman Indonesia. Agak mentereng
memang. Orang-orang yang sempat dekat atau mengamati evolusi pemikirannya,
bicara soal gagasan-gagasan besar Cak Nur tentang Islam inklusif,
desakralisasi, “Islam yes, partai Islam no”, kemestian pembaruan
pemikiran Islam dan dilema integrasi umat, serta soal lainnya.
Tentu itu penting dan semua sudah terdokumentasi dalam buku-buku Cak Nur
seperti Islam: Doktrin dan Peradaban. Tapi yang justru menarik perhatian
saya justru buku antologi pemikiran Islam klasik yang diterbitkan Bulan Bintang
pada tahun 1994. Buku itu berjudul Khazanah Intelektual Islam. Setelah
dicek, saya rupanya membeli buku ini waktu kelas lima di Gontor, tahun 1995,
dan baru berguna bagi saya di tahun 2005.
Isinya memuat cuplikan dari mata rantai pemikiran Islam sejak zaman klasik
sampai zaman modern. Di dalamnya Cak Nur memilah dan menerjemahman karya-karya
penting al-Kindi, al-Asy’ari, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali, Ibnu Rusyd,
sampai Muhammad Abduh. Ini menunjukkan betapa Cak Nur memahami dan menguasai
sepenuhnya khazanah pemikiran Islam, sejak yang klasik sampai yang modern.
Itulah mestinya yang menjadi bekal intelektual Islam.
Bagian paling sedap dari buku ini adalah pengantar Cak Nur yang
memperlihatkan evolusi pemikiran Islam sejak zaman klasik dan ketersambungannya
dengan dunia modern. Membaca pengantar ini seakan-akan sedang berhadapan dengan
sebuah peta pemikiran, dan peta itu dibuatkan Cak Nur dengan sedemikian
apiknya. Meski tidak sepenuhnya sepaham dengan tokoh-tokoh yang dimuat Cak Nur,
saya tak bisa mengabaikannya sebagai referensi tatkala harus membuat makalah
tentang al-Ghazali maupun Ibnu Rusyd.
Masih terkait buku ini, penguasaan khazanah pemikiran Islam klasik itulah
yang tampaknya tidak umum pada generasi-generasi intelektual Islam Indonesia
setelah Cak Nur. Pada titik ini, pososi Cak Nur sejajar belaka dengan para
pemikir Arab kontemporer yang cukup mencerahkan seperti Hassan Hanafi di Mesir,
atau Muhammad Abid al- Jabiri di Maroko. Mereka, sebagaimana Cak Nur, telah
mengunyah khazanah pemikiran Islam klasik itu dengan lumatnya, dan dari
kunyahan itulah mereka mampu melontarkan ide-ide yang lebih mencerahkan tentang
wacana keislaman kontemporer. Arti kata, pada mereka dan pada Cak Nur, tampak
sekali adanya koneksi antara tradisi dan modernitas sehingga mata rantai
evolusi pemikiran keislaman tidak seperti terpenggal.
Tapi mungkin dari kesadaran akan mata rantai pemikiran itulah Cak Nur
menginsafi bahwa upaya memacu laju pemikiran keislaman juga terbatasi oleh
banyak beban sejarah. Meski telah ikut berjasa besar dalam menyegarkan kembali
pemikiran keislaman di Indonesia, upaya-upaya Cak Nur juga dibatasi oleh
kondisi umum masyarakat yang melingkupi lontaran-lontaran pemikirannya. Mungkin
Cak Nur sadar, bahwa tradisi liberal dalam sejarah intelektualisme Islam klasik
tak serta merta bisa diulang. Langkah awal untuk merintis kembali kejayaan
pemikiran itu harus diselingi dengan gagasan-gagasan yang meski terasa
apologetis tapi cukup membesarkan hati umat. Itulah mungkin rahasia mengapa Cak
Nur cukup sering mengutip pemikir-pemikir yang lebih apresiatif ketimbang
kritis terhadap pemikiran keislaman.
Namun itu tidak berarti bahwa laju pemikiran keislaman tidak dipacu. Gas
tetap harus diinjak sekalipun rem begitu pakem dan siapa saja merasa berhak
untuk menginjaknya walau motor pembaruan tidak dalam trek yang berbahaya.
Mekanisme gas dan rem inilah yang tampaknya dengan apik dimainkan Cak Nur lewat
gagasan-gagasan Islam inklusifnya.
Namun begitu, jika dilihat dari riwayat intelektualnya, Cak Nur pastilah
bukan orang yang nyaman menjadi tukang rem. Dia sebetulnya lebih setia berada
di posisi tukang gas. Karena alasan itu, Cak Nur tidak keberatan dengan
terobosan-terobosan generasi yang jauh di bawahnya, yang berupaya melampaui
batas-batas pencapaianya. Kepada para penginjak gas yang tak jarang dianggap
kebablasan ini, Cak Nur hanya berpesan untuk memperbanyak bekal dan memperkuat
argumen. Tidak lebih.
Cak Nur pun tidak menganggap perkembangan intelektualisme Islam setelah
reformasi di Indonesia sebagai deviasi dari apa yang ia rintis sebelumnya.
Hanya saja, secara adat, orang tua tentu akan bijaksana melihat tanda-tanda
zaman. Ketika melihat begitu banyak kontroversi dan begitu kuatnya radikalisme
dalam perkembangan pemikiran keislaman di penghujung hayatnya, ia pun
menyarankan anak-anak muda yang penuh gairah ini untuk menahan diri. Ada
saatnya gas diinjak kencang, ada masanya rem perlu digunakan. Tapi bukan orang
lain yang menentukan kapan gas dikencangkan dan rem dipakemkan. Itulah yang saya
rasakan dari cara interaksi Cak Nur dengan kaum muda yang merasa punya
ketersambungan sanad pemikiran dengannya.
Setakat ini, saya mohon maaf lagi jika kembali teringat bapak saya. Di saat
ia mendengar bocoran dari para tetua kampung bahwa beberapa bagian dari ceramah
saya tidak dipahami sebagaimana mestinya, dia pun menggamit saya untuk
memperbarui cara. Bahkan, suatu kali dia meminta saya untuk menjadi pengamat
agama saja, bukan sebagai penceramah. Betapa banyak gagasan-gagasan yang maju
dianggap sesat oleh umatnya.
Mengenang Cak Nur, saya tak bisa untuk tidak teringat bapak saya. Untukmu
bapak, dan bagimu Cak Nur, semoga saran dan kearifan hidup yang kau ajarkan
menambah hitungan amal baikmu di alam baka.