Author: Novriantoni
Kahar
محمد عابد الجابري
(Foto: Al
Jadid Magazine, Vol. 3, no. 17 (April 1997)—disunting oleh Alobatnic) |
Sejak wafatnya Muhammad
Abid al-Jabiri, Senin, 3 Mei 2010
lalu,
saya terus merenung tentang apa sumbangan terpenting intelektual Maroko itu
bagi studi Islam. Saya memiliki dan membaca hampir semua buku karangannya.
Boleh dipastikan, sebagian besar bukunya menjadi bahan rujukan utama saya
ketika menulis makalah ataupun mengajar.
Tapi tetap saja sulit
menjawab pertanyaan: apa sih yang istimewa dari al-Jabiri. Saya coba kembali
merenung dan mencerna ulang, apa yang saya dapat dari al-Jabiri dan kurang saya
dapatkan dari pemikir Arab kontemporer lain semisal Hassan Hanafi, Muhammad
Arkoun, Khalil Abdul Karim, dan lain-lain. Setelah menimbang-nimbang, inilah
beberapa kesan saya terhadap karya-karya al-Jabiri.
Pertama, dari sebuah obituari
yang dimuat sebuah media Arab, saya baru tahu kalau al-Jabiri punya latar
belakang ilmu eksakta sebelum masuk ke ilmu-ilmu sosial di bangku kuliah. Di
sekolah menengah, dia bahkan tergolong pintar dalam ilmu matematika dan pernah
diutus ke Swiss untuk melanjutkan studi. Namun suatu ketika ia terkagum pada
kitab al-Muqaddimah Ibnu Khaldun sehingga menarik minatnya untuk
merambah studi khazanah intelektual Islam klasik secara serius.
Dari sedikit info ini, saya
baru mengerti mengapa dia bisa menulis dengan sistematika yang sangat
mengagumkan. Tidak loncat-loncat seperti Hassan Hanafi atau terlalu
bermain-main bahasa dan istilah seperti Muhammad Arkoun.
Permisalan al-Jabiri dalam
soal sistematika dan kerapihan dalam menyusun argumen, setara dengan Nasr Hamid
Abu Zayd dan Muhammad Syahrur. Nama yang belakangan ini adalah intelektual
Suriah yang juga bukan jebolan pesantren, tapi alumni teknik elektro yang mampu
menulis buku yang mengagumkan tentang studi Alquran (al-Kitab wa al-Quran).
Saya pun jadi bertanya,
adakah hubungan antara latar belakang ilmu eksakta itu dengan kerapihan dalam
menyusun argumen dan mensistematika pembahasan. Mungkin saja. Tapi bukan itu
betul yang penting. Yang menakjubkan, mereka ini bukan jebolan sekolah menengah
agama seperti pesantren di Indonesia, tapi mereka mampu melahirkan studi-studi
yang inovatif, tidak konservatif, dan menakjubkan tentang khazanah
intelektualisme Islam.
Ini sesuatu yang langka di
Indonesia, karena biasanya jebolan non-pesantren sini justru menjelma sebagai
intelektual Islam yang jauh lebih kolot dari jebolan pesantren.
Kedua, membaca al-Jabiri
terasa sangat membantu dalam mengarungi khazalah intelektualisme Islam klasik
yang mahaluas. Tidak gampang membolak-balik kitab klasik Islam dalam beragai
disiplin ilmu, misalnya dalam bidang sejarah, teologi, ataupun etika.
Selain terbentur
keterbatasan sumber, aspek bahasa, kebingunan soal konteks penulisan,
aspek-aspek teknis lainnya pun bisa menguras energi yang tak sedikit. Banyak
intelektual Arab kontemporer yang mampu memainkan peran intermediasi ini bagi
peminat studi Islam klasik hari ini. Namun saya melihat hanya al-Jabiri yang
secara kronologis dan begitu sistematis mampu meringkaskan itu semua dalam
berbagai karyanya.
Jika kita ingin mengetahui
hampir semua ide tertulis tentang pemikiran politik Islam, baik dari sumber
Arab ataupun Persia secara runtut, kita tinggal merujuk saja ke al-`Aqlu
al-Siyasi al-`Arabi (Nalar Politik Arab). Jika hendak memahami semua
gagasan yang ditinggalkan intelektual klasik Islam tentang etika, khatamkan
saja al-`Aqlu al-Akhlaqi al-`Arabi (Nalar Etis Arab).
Jika berminat mendalami
aspek epistimologis atau apa dasar-dasar pembentukan khazanah klasik Islam itu,
tinggal baca saja dua karyanya sebelum itu, Takwin al-`Aql al-`Arabi
(Formasi Nalar Arab) dan Bunyat al-`Aql al-`Arabi (Struktur Nalar Arab).
Karena begitu pentingnya karya-karya ini, saya berpendapat bahwa tidaklah
lengkap studi seseorang tentang pemikiran politik atau etika Islam tanpa
melahap atau paling tidak melek terhadap kedua karya ini terlebih dahulu.
Ketiga, yang menonjol dari
al-Jabiri dibanding pemikir Arab lainnya adalah usaha yang sungguh-sungguh
untuk merasionalisasi hampir semua bidang studi ilmu keislaman. Kalaupun ia
tidak mampu merasionalisasi semua aspek doktriner dari Islam, paling tidak kita
dibuat paham tentang konteks dari doktrin itu, atau mengapa pemikiran atau
doktrin tertentu muncul dan untuk apa.
Al-Jabiri berupaya keras
untuk menunjukkan apa yang sosiologis, yang politis, dan yang historis di balik
sesuatu yang dibalut sakralitas dan berlindung di balik selubung agama. Jika di
Indonesia kita mengenal istilah “preman berjubah”, cobalah tugaskan al-Jabiri
untuk menjelaskannya.
Saya yakin, dia akan mampu
menyingkap jubah itu, lalu menunjukkan secara detil bahwa jubah itu tak lain
hanya kedok untuk menutupi aksi-aksi premanisme. Penjelasan dan data-data serta
konteks sosial kemunculan aksi-aksi premanisme itu, dan mengapa pula memakai
jubah bukan kostum lainnya, akan betul-betul dibuat meyakinkan di tangan
al-Jabiri.
Memang upaya seperti ini
bukanlah khas al-Jabiri, namun juga dilakukan oleh intlektual Arab kontemporer
lain seperti Mahmud Qumni, Mahmud Ismail, atau Khalil Abdul Karim. Tapi pada
al-Jabiri-lah asumsi-asumsi metodologis dan bangunan teori yang dibuatnya mampu
ditopang oleh argumen dan data-data yang menakjubkan dan meyakinkan.
Ambillah contoh soal konsep
al-Jabiri tentang aqidah, qabilah, ghanimah, yang lantas dijadikannya
kerangka untuk menjelaskan gagasan dan dinamika politik Islam sejak masa nabi
sampai masa kini. Ketiganya dibahas dengan rinci, umpamanya bagaimana aqidah
dibentuk, mengapa qabilah penting, dan apa peran ghanimah
dalam menggerakkan dinamika politik Islam. Aqidah di sini adalah aspek
ideologisnya; qabilahmerupakan aspek sosiologisnya; dan ghanimah
adalah aspek ekonomisnya.
Keempat, orang sering
bertanya, mengapa ilmu-ilmu keislaman berputar-putar dan tidak beranjak dari
situ-situ saja dan hampir tidak banyak inovasi dan gagasan baru yang muncul.
Untuk menjawab soal ini, bacalah Takwin al-`Aql al-`Arabi dan Bunyat
al-`Aql al-`Arabi.
Di situ, al-Jabiri mengulas
tiga bentuk nalar yang berfungsi dalam pembentukan dan reproduksi keilmuan
Islam dan berkontestasi untuk mendapatkan tempat di bumi Islam. Nalar bayani
yang begitu dominan di dunia Islam adalah penjelas utamanya. Juara kedua
ditempati nalar irfani, dan yang paling sial adalah nalar burhani.
Nalar bayani adalah
sebentuk epistimologi yang menjadikan teks tertulis seperti Quran, hadis,
pendapat atau fatwa ulama, sebagai basis utama untuk membentuk pengetahuan.
Teks yang hidup, masih terus vital, dan tak jarang dianggap sakral itu kemudian
dibayankan atau dijelaskan secara tidak berkesudahan sehingga muncullah ilmu
seolah-olah. Ilmu muncul karenarestatement atau lewat pengungkapan ulang
apa yang sudah dikatakan dan dijelaskan di dalam teks masa lampau.
Hampir tidak ada yang
terlalu baru di masa kini berbanding masa lampau. Inilah yang disebut al-Jabiri
sebagai aktivitas memberanakkan kata-kata (istitsmar al-alfadz). Jadi
yang terjadi di dunia Islam sesungguhnya bukanlah bertambahnya ilmu agama, tapi
menggunungnya kata-kata yang dirumuskan ulang dari kata-kata yang sudah ada
sebelumnya tanpa proses kreatif dan penalaran yang memadai. Inilah yang
mengukuhkan aspek legalisme dan eksoterisme Islam.
Juara dua yang mendominasi
alam intelektual dunia Islam adalah nalar irfani. Pengetahuan yang
didapat lewat intuisi atau zdauq dan mukasyafah inilah yang
menempati tingkat keabsahan kedua sebagai anak kandung ilmu pengetahuan Islam.
Dalam bentuk aktivisme,
nalar irfani menjelma dalam bentuk istiqashah, tarekat (baik yang
muktabarah maupun ghaira muktabarah), zikir lokal, interlokal,
maupun nasional, dan berbagai bentuk pencarian aspek esoterisme Islam lainnya.
Aspek yang popular dari nalar irfani akan menghasilkan zikir, ratapan, tobat
nasional, munajat-munajat, dan training ESQ. Sementara aspek yang filosofis
dari nalar ini menghasilkan khazanah mistisisme Islam yang spekulatif seperti
ditunjukkan al-Ghazali, Jalaluddin Rumi, maupun Ibnu Arabi.
Yang sial adalah nalar burhani.
Nalar ini tidak terlalu berhasil membumi di dunia Islam kecuali di masa
keemasannya. Ia minggat ke Eropa setelah menguatnya neo-Hanbalisme di dunia
Islam, dan tak pernah balik sampai kini. Nalar ilmiah inilah yang redup dan tak
kunjung bersinar di dunia Islam. Sudah sejak lama ia tidak mendapat tempat yang
layak di ranah-ranah pendidikan dan kebudayaan Islam, bahkan sampai kini. Di
sektor ekonomi-politik pun, nalar ini tak menjadi acuan.
Al-Jabiri tampak berupaya
keras untuk menyalakan kembali pelita nalar ini lewat kajian ulangnya terhadap
karya-karya intelektual klasik Islam seperti Ibnu Rusyd (bidang filsafat), Ibnu
Khaldun (bidang sejarah), maupu as-Syathibi (bidang hukum/fikih). Ia punya
impian besar agar peradaban Islam dibangun atas fondasi rasionalitas ilmu
pengetahuan, bukan legalisme dan formalisme hukum agama dan non-agama, ataupun
racauan mistikus mabuk.
Justru karena itulah dia
dituduh sebagai fanatis Ibnu Rusyd dan mengidap sindrom egosentrisme sektoral
dalam menelaah khazanah intelektualisme Islam. Dalam buku Hiwar al-Masyriq
wa al-Maghrib (Polemik Intelektual Timur Arab dan Barat Arab), dia dianggap
kurang fair karena menganggap khazanah intelektualisme Islam di kawasan
Maghribi lebih rasional dari kompatriotnya di kawasan timur Arab.
Al-Jabiri dianggap kurang
apresiatif terhadap Ibnu Sina, al-Farabi, al-Ghazali, dan pencapaian-pencapaian
intelektualisme kawasan Arab sebelah timur, dan hanya memuji-muji Ibnu Rusyd,
Ibnu Khaldun, as-Syathibi, dan bahkan Ibnu Hazm yang dikenal sebagai seorang
legalis-formalis.
Terlepas dari polemik di
atas, obsesi al-Jabiri untuk menghidupkan ilmu-ilmu rasional Islam (ihya
`ulum al-`aql) pantas disambut dan dilanjutkan lebih giat lagi. Sudah nyata
di dunia Islam bahwa proyek menghidupan ilmu-ilmu agama (ihya `ulum ad-din)
al-Ghazali yang bersifat bayani dan irfani sudah sukses
gilang-gemilang dan begitu hegemonik.
Hegemoninya itu mendominasi
hampir semua sektor pendidikan dan kebudayaan masyarakat Islam, sehingga umat
Islam sulit untuk keluar sejengkal pun dari pantauan radar keduanya. Al-Jabiri
dalam hal ini juga merekomendasikan kita untuk menjadi anshar Ibnu Rusyd
daripada Ibnu Hanbal dan al-Ghazali.
Umat Islam sudah terlalu
banyak mengonsumsi ilmu-ilmu yang dihafalkan dan diwariskan secara
turun-temurun. Juga terlalu banyak menghabiskan waktu untuk menyingkap rahasia
dan hikmah ilahiah di alam raya. Sudah pada tempatnya untuk memberikan porsi
lebih banyak kepada aktivitas penalaran agar ciri khas manusia sebagai “makhluk
yang bertindak berdasarkan ide”—sebagaimana dikatakan filsuf Ibnu Bajah—dapat
teralisasi.
Jika tidak, isi otak umat
Islam tak akan lebih dari susunan huruf dan biji tasbih tanpa ditemukannya
bukti bahwa otak itu pernah bekerja sebagaimana mestinya. Sebuah harapan yang
gampang diucapkan, tapi tidak mudah diwujudkan, bukan?!