Fatima Mernissi dan Pembelaan terhadap Kaum Perempuan



Author: Nong Darol Mahmada
Adib Rifqi Setiawan; Adib; Rifqi; Setiawan; AdibRS; Adib RS; ARS; Alobatnic; 26 March 1994; Pelantan; Scholaristi; Santri Scholar; Santri; Scholar; Santri Scholar Society; Godly Nationalism; Itz Spring Voice; Into the Unknown; Blackjack Soldier; Blackjack; Soldier;

فاطمة مرنيسي‎‎
(Foto: Fatema Mernissi dalam Erasmus Prize 2004)

Fatima Mernissi lahir tahun 1940 di Fez, Marokko. Ia tinggal dan dibesarkan dalam sebuah harem bersama ibu dan nenek-neneknya serta saudara perempuan lainnya. Sebuah harem yang dijaga ketat seorang penjaga pintu agar perempuan-perempuan itu tidak keluar.

Harem itu juga dirawat dengan baik dan dilayani oleh pelayan perempuan. Neneknya, Yasmina, merupakan salah satu isteri kakeknya yang berjumlah sembilan. Sementara hal itu tidak terjadi pada ibunya. Ayahnya hanya punya satu isteri dan tidak berpoligami.

Hal ini dikarenakan orang tua Mernissi seorang penganut nasionalis yang menolak poligami. Namun begitu, ibunya tetap tidak bisa baca tulis karena waktunya dihabiskan di harem.

Sewaktu Mernissi lahir, para nasionalis Marokko berhasil merebut kekuasaan pemerintahan negara dari tangan kolonial Prancis. Ini diakui Mernissi, “jika saya dilahirkan dua tahun lebih awal, saya tidak akan memperoleh pendidikan, saya lahir pada waktu yang sangat tepat”.

Kaum nasionalis yang berjuang melawan Prancis waktu itu, menjanjikan akan menciptakan negara Maroko yang baru, negara dengan persamaan untuk semua. Setiap perempuan memiliki hak yang sama atas pendidikan sebagaimana laki-laki. Mereka juga akan menghapuskan praktek perkawinan poligami.

Inilah yang membuat ia beruntung karena walaupun ia tinggal di harem, tapi ia mendapatkan kesempatan mengenyam pendidikan tinggi. Dalam buku The Harem Within, Mernissi menceritakan tentang masa kecilnya yang ia habiskan di harem bersama ibu dan nenek-neneknya.

Buku ini merupakan cermin masa kanak-kanaknya dalam sebuah harem di Fez, yang dilihat dari kaca mata seorang gadis muda. Namun ia mengakui hanya sebagian cerita yang dalam buku ini berdasarkan pada pengalamannya sendiri. “Masa kanak-kanak saya tidak seindah dalam buku ini,” katanya.

Walaupun Mernissi menggambarkan kehidupan harem dengan pesona yang kaya, ia tidak melupakan penindasan di dalamnya. Dalam bukunya, ia juga mengungkapkan bagaimana kaum harem melihat ke rentang langit dari dalam lingkungan halaman harem dan memimpikan hal-hal yang sederhana, seperti melangkah bebas di jalan.

Atau bagaimana Mernissi melihat dunia luar dengan mengintip dari lubang pintu. Menurut Mernissi, orang Barat selalu memandang dan membayangkan harem yang berada dalam istana. Di sini ia membedakan antara harem kelas tinggi (imperial) dan harem kelas biasa (domestik).

Yang dibayangkan orang Barat adalah harem kelas tinggi, yakni istana-istana yang dimiliki laki-laki yang kaya raya dan berkuasa, yang membeli ratusan perempuan budak dan menyimpannya dalam lingkungan harem dengan dijaga ketat oleh kasim.

Harem-harem semacam ini telah lenyap pada perang Dunia I, ketika kerajaan Ottoman hancur dan praktek-praktek itu dilarang oleh penguasa Barat. Sementara harem yang ditinggali Mernissi adalah harem biasa, yang sampai sekarang masih ada di negara-negara Teluk.

Sejak kecil, Mernissi telah terlibat dengan pergulatan pemikiran dan selalu melontarkan pertanyaan yang liar. Misalnya dalam hal batas antara laki-laki dan perempuan. Mernissi kecil menanyakan, kalau disepakati ada batas antara perempuan dan laki-laki, kenapa yang harus ditutupi dan dibatasi itu perempuan.

Pertanyaan itu selalu ia lontarkan kepada neneknya, Yasmina. Neneknya tak bisa menjawab pertanyaan cucunya itu karena menurutnya itu terlalu berbahaya.

Dalam masa-masa ini pula ia memiliki hubungan yang sangat ambivalen dengan agama. Ini dikarenakan adanya perbedaan dan ketegangan cara pandang terhadap Al-Qur’an yang dia terima di sekolah pengajian Al-Qur’an dan yang diajarkan Neneknya.

Di sekolah Al-Qur’annya, ia diajar dengan cara yang keras. Setiap hari ia harus menghapal ayat-ayat Al-Qur’an, yang kalau salah melafalkannya akan mendapat teguran dan bentakan atau pukulan. Dalam kondisi seperti ini, ia melihat agama sebagai sesuatu yang mengerikan.

Sementara, di sisi lain, Mernissi kecil ini lebih menerima keindahan agama lewat nenek Yasmina, yang telah membukanya menuju pintu agama yang puitis. Neneknya yang menderita insomnia selalu bercerita tentang perjalanan hajinya. Dan dengan semangat selalu bercerita tentang dua kota, Mekkah dan Madinah.

Kota yang selalu diburunya adalah kota Madinah sehingga kota yang lain seperti Arafah dan Mina sering ia lewatkan hanya karena ingin cepat-cepat menceritakan kota Madinah. Hal ini sangat berpengaruh pada Mernissi kecil. Madinah kemudian menjadi kota impian yang diobsesikannya.

Sikap ini melekat pada Mernissi selama bertahun-tahun. Menurut Mernissi, Al-Qur’an sebagai kitab suci agama Islam sangat tergantung pada bagaimana perspektif dan resepsi (penerimaan) kita terhadapnya. Ayat-ayat suci ini bisa menjadi gerbang untuk melarikan diri atau bisa juga menjadi hambatan yang tidak bisa diatasi.

Al-Qur’an, kata Mernissi, bisa menjadi pembawa kita ke dalam mimpi atau malah pelemah semangat belaka. Sedangkan Ibu Mernissi selalu mengajarkan kepada Mernissi kecil bagaimana bisa bertindak dan bertahan sebagai perempuan: “Kamu harus belajar untuk berteriak dan protes, sebagaimana kamu belajar untuk berjalan dan berbicara,” kata sang Ibu pada Mernissi.

Dari sang ibu juga ia mendapatkan cerita tentang bagaimana agar perempuan bertindak cerdik dan bijaksana. Ibunya sering menceritakan kisah-kisah dalam Seribu Satu Malam. Cerita ini mengisahkan seorang sultan yang sangat menggemari dongeng. Dikisahkan, Sultan Nebukadnedzar suatu ketika memergoki permaisurinya berzina dengan pengawalnya.

Sang Sultan marah lalu membunuh keduanya. Sejak itu Sultan membenci perempuan. Hal ini membuatnya mempunyai kebiasaan buruk, yakni menikahi perempuan di malam hari, dan keesokan harinya si isteri tersebut harus dipancung. Begitu terus terjadi setiap hari. Tak terbilang banyaknya gadis yang mati karena itu.

Kebiasaan ini berhasil dihentikan oleh seorang gadis bernama Shahrazad, dengan memikat sultan lewat cerita-ceritanya, sehingga sang sultan selalu mengurungkan niatnya untuk memancung gadis itu.

Kebijaksanaan semacam inilah yang disarankan sang ibu. Pokok penting ini digaris bawahi, ketika si anak perempuan itu balik bertanya: “Tetapi bagaimana kita bisa belajar tentang cara mendongeng, yang bisa menyenangkan kati raja?”

Si ibu komat-kamit, seakan-akan berbicara pada dirinya sendiri, bahwa itulah pekerjaan seumur hidup perempuan. Mernissi mengakui, ibu dan neneknya yang mendorongnya untuk sekolah yang tinggi, agar perempuan bisa berdiri sendiri.

Ketika Mernissi menginjak sebagai gadis remaja, ia mulai mendapatkan pelajaran agama, dengan masuk pada bidang as-Sunnah. Pada saat itu, ia menemukan suatu kejadian yang membuatnya terluka. Mernissi berkata:
” …….Beberapa hadis yang bersumber dari kitab Bukhori, dikisahkan oleh para guru pada kami, membuat hati saya terluka. Katanya Rasulullah mengatakan bahwa: “anjing, keledai dan perempuan akan membatalkan salat seseorang apabila ia melintas di depan mereka, menyela diantara orang yang salat dan kiblat”.

Perasaan saya amat terguncang mendengar hadis semacam itu, saya hampir tak pernah mengulanginya dengan harapan, kebisuan akan membuat hadis ini terhapus dari kenangan saya. Saya bertanya, “Bagaimana mungkin Rasulullah mengatakan hadis semacam ini, yang demikian melukai saya……Bagaimana mungkin Muhammad yang terkasih, bisa begitu melukai perasaan gadis cilik, yang disaat pertumbuhannya, berusaha menjadikannya sebagai pilar-pilar impian-impian romantisnya.” (Wanita Dalam Islam, h. 82)

Dalam perjalanan hidupnya yang penuh pergolakan pemikiran ini, Mernissi telah membuktikan bahwa didikan ibu dan neneknya telah membuahkan hasil. Di samping karena jasa kaum nasionalis yang membolehkan perempuan mengikuti pendidikan sekolah.

Meski begitu, Mernissi mengakui bahwa banyak impian nasionalisme Arab belum terwujud. Poligami belum dilarang, perempuan belum mencapai status yang setara dengan laki-laki dan demokrasi belum menjadi sistem yang dominan di dunia Arab.

Kini, Mernissi telah melewati harem dengan dilewatinya berbagai jenjang pendidikan. Ini juga menjadi bukti keberhasilannya melewati batas-batas harem yang selalu ia tanyakan sejak kecil.

Ia mendapatkan gelar di bidang politik dari Mohammed V University di Rabat, Marokko. Gelar Ph.D didapatkan di Universitas Brandels, Amerika Serikat tahun 1973. Disertasinya, Beyond the Veil, menjadi buku teks yang menjadi rujukan dalam pustaka Barat.

Dan sekarang, ia menjadi dosen tetap dan guru besar Sosiologi di Universitas Mohammed V Rabat, yang merupakan perguruan tinggi almamaternya. Mernissi pun aktif sebagai seorang feminis islam yang aktif diberbagai organisasi perempuan Afrika Utara yang menyuarakan persoalan-persoalan perempuan Islam dengan mengadakan studi dan penelitian. Ia termasuk figur yang cukup diperhitungkan dikalangan aktivis perempuan dunia, khususnya Dunia Islam.

Penulis melihat, karya-karya Mernissi sarat dengan pengalaman individualnya. Setidaknya pengalaman individualnya itulah yang memacunya untuk melakukan riset historis tentang sesuatu yang dia rasa mengganggu paham keagamaannya.

Misalnya kita lihat dalam karyanyaThe Veil and Male Elite (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,Menengok kontroversi Keterlibatan Wanita Dalam Politik, (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997) yang kemudian ia revisi menjadi Women and Islam: A Historical and Theological Enquiry (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: Wanita dalam Islam, Bandung: Pustaka, 1994).

Pelacakan Mernissi terhadap nash-nash suci baik Al-Qur’an dan Hadis didasari pada pengalaman individunya sehari-hari ketika berhubungan dengan masyarakat. Seperti misalnya hadis-hadis yang ia sebut misoginis yang menyatakan posisi perempuan sama dengan anjing dan keledai sehingga membatalkan salat sesorang, dikarenakan rasa ingin tahu yang mendalam terhadap posisi Hadis tersebut. Pengalaman itu ia dapatkan waktu remaja di sekolah.

Begitu juga Hadis tentang kepemimpinan perempuan yang membuatnya, dalam bahasa Mernissi sendiri, “hancur” perasaannya setelah mendengarnya. Dorongan untuk melacak hadis itu secara serius karena Hadis itu terlontar dari pedagang yang ia tanya di pasar, apakah boleh perempuan menjadi pemimpin.

Sang pedagang begitu kaget dengan pertanyaan Mernissi sampai menjatuhkan dagangan yang dibawanya secara tak sadar. Lalu sang pedagang mengutip Hadis: “Tidak akan selamat suatu kaum yang dipimpin oleh perempuan”.

Menurut Mernissi, peristiwa semacam itu menunjukkan Hadis ini sudah sangat merasuk umat Islam. Sehingga ketika perempuan menjadi pemimpin menjadi ramai diperdebatkan. Seperti kasus Benazir Butho yang waktu itu menjadi Perdana Menteri di Pakistan. Padahal Al-Qur’an sudah mengungkapkan dengan jelas contoh Ratu Bilqis sebagai pemimpin berjenis kelamin perempuan.

Soal lain yang menjadi concern Mernissi adalah hijab. Tema hijab sangat dominan dalam karir intelektual Mernissi karena soal itulah yang sejak kecil mempengaruhi dirinya dan keluarganya, dan tentunya keluarga muslim lainnya.

Hijab, yang merupakan instrumen pembatasan, pemisahan dan pengucilan terhadap perempuan dari ruang publik bagi Mernissi merupakan bentuk pemaahaman keagamaan dominan (yang nota bene dikuasai oleh laki-laki!). Hijab juga berarti sarana pemisahan antara penguasa dan rakyat. Pemikiran hijab yang terakhir ini dipengaruhi oleh realitas kekuasaan yang terjadi dalam masyarakat Arab.

Dengan melakukan penafsiran-penafsiran Al-Qur’an dan Hadis, riset sejarah dan analisa sosiologis, Mernissi berusaha keras untuk membongkar pemahaman tersebut, untuk kemudian memberikan tafsir alternatif.

Pemikiran Mernissi tentang hal ini bisa kita lihat dalam dua bukunya The Forgetten of Queen in Islam (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: Ratu-Ratu Islam yang Terlupakan, Bandung: Mizan, 1994) dan Islam and Democracy (diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia: Islam dan demokrasi: antologi Ketakutan, Jogyakarta: LKiS, 1994).

Dalam beberapa karyanya, Mernissi juga mencoba menunjukkan bahwa kekurangan-kekurangan yang ada dalam pemerintahan Arab bukanlah karena secara inheren ajaran-ajaran religius yang nota bene menjadi undang-undang dasar pemerintahan tersebut cacat.

Namun karena ajaran agama itu telah dimanipulasi oleh orang yang berkuasa untuk kepentingan dirinya sendiri. Namun dalam beberapa hal Mernissi membela negara Arab, ketika negara-negara ini disorot dan dicitrakan negatif oleh pers Barat. (Islam dan demokrasi, h. 26)

Dalam kebanyakan karya-karyanya, Mernissi mencoba menggambarkan bahwa ajaran agama bisa dengan mudah dimanipulasi. Karenanya Mernissi pun percaya, penindasan terhadap perempuan adalah semacam tradisi yang dibuat-buat, dan bukan dari ajaran agama Islam.

Makanya ia sangat berani dan tidak takut membongkar tradisi yang dianggap sakral oleh masyarakat selama ini. Banyak tulisan-tulisan lepasnya tentang perempuan yang menyuarakan hal di atas. Misalnya bisa kita lihat dalam bukunya Rebellion’s Women And Islamic Memory, (London & New Jersey: Zed Books, 1996).

Sebagai seorang sosiolog, tulisan-tulisan Mernissi ini bisa dikatakan tidak semata-mata berisi uraian normatif tapi kaya juga dengan analisa sosiologis. Ini bisa terlihat dari karya-karya yang di atas tadi dan disertasi doktoralnya yang dibukukan dengan judul Beyond The Veil (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: Seks dan Kekuasaan: Dinamika Pria-Wanita Dalam Masyarakat Muslim Modern, (Surabaya: Al-Fikr, 1997).

Buku ini merupakan hasil penelitiannya terhadap perempuan Marokko tentang batas-batas seksual perempuan. Sehingga, seakan-akan pergulatan intelektual dan pengalamannya itu yang ia tuangkan dalam karya-karyanya, bisa menjadi representasi persoalan perempuan Islam pada umumnya.