فاطمة مرنيسي
(Foto: Fatema
Mernissi dalam Erasmus Prize 2004)
|
Fatima Mernissi lahir tahun 1940 di Fez, Marokko. Ia tinggal dan dibesarkan
dalam sebuah harem bersama ibu dan nenek-neneknya serta saudara perempuan
lainnya. Sebuah harem yang dijaga ketat seorang penjaga pintu agar
perempuan-perempuan itu tidak keluar.
Harem itu juga dirawat dengan baik dan dilayani oleh pelayan perempuan.
Neneknya, Yasmina, merupakan salah satu isteri kakeknya yang berjumlah
sembilan. Sementara hal itu tidak terjadi pada ibunya. Ayahnya hanya punya satu
isteri dan tidak berpoligami.
Hal ini dikarenakan orang tua Mernissi seorang penganut nasionalis yang
menolak poligami. Namun begitu, ibunya tetap tidak bisa baca tulis karena
waktunya dihabiskan di harem.
Sewaktu Mernissi lahir, para nasionalis Marokko berhasil merebut kekuasaan
pemerintahan negara dari tangan kolonial Prancis. Ini diakui Mernissi, “jika
saya dilahirkan dua tahun lebih awal, saya tidak akan memperoleh pendidikan,
saya lahir pada waktu yang sangat tepat”.
Kaum nasionalis yang berjuang melawan Prancis waktu itu, menjanjikan akan
menciptakan negara Maroko yang baru, negara dengan persamaan untuk semua.
Setiap perempuan memiliki hak yang sama atas pendidikan sebagaimana laki-laki.
Mereka juga akan menghapuskan praktek perkawinan poligami.
Inilah yang membuat ia beruntung karena walaupun ia tinggal di harem, tapi
ia mendapatkan kesempatan mengenyam pendidikan tinggi. Dalam buku The Harem Within,
Mernissi menceritakan tentang masa kecilnya yang ia habiskan di harem bersama
ibu dan nenek-neneknya.
Buku ini merupakan cermin masa kanak-kanaknya dalam sebuah harem di Fez,
yang dilihat dari kaca mata seorang gadis muda. Namun ia mengakui hanya
sebagian cerita yang dalam buku ini berdasarkan pada pengalamannya sendiri.
“Masa kanak-kanak saya tidak seindah dalam buku ini,” katanya.
Walaupun Mernissi menggambarkan kehidupan harem dengan pesona yang kaya, ia
tidak melupakan penindasan di dalamnya. Dalam bukunya, ia juga mengungkapkan
bagaimana kaum harem melihat ke rentang langit dari dalam lingkungan halaman
harem dan memimpikan hal-hal yang sederhana, seperti melangkah bebas di jalan.
Atau bagaimana Mernissi melihat dunia luar dengan mengintip dari lubang
pintu. Menurut Mernissi, orang Barat selalu memandang dan membayangkan
harem yang berada dalam istana. Di sini ia membedakan antara harem kelas tinggi
(imperial) dan harem kelas biasa (domestik).
Yang dibayangkan orang Barat adalah harem kelas tinggi, yakni istana-istana
yang dimiliki laki-laki yang kaya raya dan berkuasa, yang membeli ratusan
perempuan budak dan menyimpannya dalam lingkungan harem dengan dijaga ketat
oleh kasim.
Harem-harem semacam ini telah lenyap pada perang Dunia I, ketika kerajaan
Ottoman hancur dan praktek-praktek itu dilarang oleh penguasa Barat. Sementara
harem yang ditinggali Mernissi adalah harem biasa, yang sampai sekarang masih
ada di negara-negara Teluk.
Sejak kecil, Mernissi telah terlibat dengan pergulatan pemikiran dan selalu
melontarkan pertanyaan yang liar. Misalnya dalam hal batas antara laki-laki dan
perempuan. Mernissi kecil menanyakan, kalau disepakati ada batas antara
perempuan dan laki-laki, kenapa yang harus ditutupi dan dibatasi itu perempuan.
Pertanyaan itu selalu ia lontarkan kepada neneknya, Yasmina. Neneknya tak
bisa menjawab pertanyaan cucunya itu karena menurutnya itu terlalu berbahaya.
Dalam masa-masa ini pula ia memiliki hubungan yang sangat ambivalen dengan
agama. Ini dikarenakan adanya perbedaan dan ketegangan cara pandang terhadap
Al-Qur’an yang dia terima di sekolah pengajian Al-Qur’an dan yang diajarkan
Neneknya.
Di sekolah Al-Qur’annya, ia diajar dengan cara yang keras. Setiap hari ia
harus menghapal ayat-ayat Al-Qur’an, yang kalau salah melafalkannya akan
mendapat teguran dan bentakan atau pukulan. Dalam kondisi seperti ini, ia
melihat agama sebagai sesuatu yang mengerikan.
Sementara, di sisi lain, Mernissi kecil ini lebih menerima keindahan agama
lewat nenek Yasmina, yang telah membukanya menuju pintu agama yang puitis.
Neneknya yang menderita insomnia selalu bercerita tentang perjalanan hajinya.
Dan dengan semangat selalu bercerita tentang dua kota, Mekkah dan Madinah.
Kota yang selalu diburunya adalah kota Madinah sehingga kota yang lain
seperti Arafah dan Mina sering ia lewatkan hanya karena ingin cepat-cepat
menceritakan kota Madinah. Hal ini sangat berpengaruh pada Mernissi kecil.
Madinah kemudian menjadi kota impian yang diobsesikannya.
Sikap ini melekat pada Mernissi selama bertahun-tahun. Menurut Mernissi,
Al-Qur’an sebagai kitab suci agama Islam sangat tergantung pada bagaimana
perspektif dan resepsi (penerimaan) kita terhadapnya. Ayat-ayat suci ini bisa
menjadi gerbang untuk melarikan diri atau bisa juga menjadi hambatan yang tidak
bisa diatasi.
Al-Qur’an, kata Mernissi, bisa menjadi pembawa kita ke dalam mimpi atau
malah pelemah semangat belaka. Sedangkan Ibu Mernissi selalu mengajarkan
kepada Mernissi kecil bagaimana bisa bertindak dan bertahan sebagai perempuan:
“Kamu harus belajar untuk berteriak dan protes, sebagaimana kamu belajar untuk
berjalan dan berbicara,” kata sang Ibu pada Mernissi.
Dari sang ibu juga ia mendapatkan cerita tentang bagaimana agar perempuan
bertindak cerdik dan bijaksana. Ibunya sering menceritakan kisah-kisah dalam
Seribu Satu Malam. Cerita ini mengisahkan seorang sultan yang sangat
menggemari dongeng. Dikisahkan, Sultan Nebukadnedzar suatu ketika memergoki
permaisurinya berzina dengan pengawalnya.
Sang Sultan marah lalu membunuh keduanya. Sejak itu Sultan membenci
perempuan. Hal ini membuatnya mempunyai kebiasaan buruk, yakni menikahi
perempuan di malam hari, dan keesokan harinya si isteri tersebut harus
dipancung. Begitu terus terjadi setiap hari. Tak terbilang banyaknya gadis yang
mati karena itu.
Kebiasaan ini berhasil dihentikan oleh seorang gadis bernama Shahrazad,
dengan memikat sultan lewat cerita-ceritanya, sehingga sang sultan selalu
mengurungkan niatnya untuk memancung gadis itu.
Kebijaksanaan semacam inilah yang disarankan sang ibu. Pokok penting ini
digaris bawahi, ketika si anak perempuan itu balik bertanya: “Tetapi bagaimana
kita bisa belajar tentang cara mendongeng, yang bisa menyenangkan kati raja?”
Si ibu komat-kamit, seakan-akan berbicara pada dirinya sendiri, bahwa
itulah pekerjaan seumur hidup perempuan. Mernissi mengakui, ibu dan neneknya
yang mendorongnya untuk sekolah yang tinggi, agar perempuan bisa berdiri
sendiri.
Ketika Mernissi menginjak sebagai gadis remaja, ia mulai mendapatkan
pelajaran agama, dengan masuk pada bidang as-Sunnah. Pada saat itu, ia
menemukan suatu kejadian yang membuatnya terluka. Mernissi berkata:
” …….Beberapa hadis yang bersumber dari kitab Bukhori,
dikisahkan oleh para guru pada kami, membuat hati saya terluka. Katanya
Rasulullah mengatakan bahwa: “anjing, keledai dan perempuan akan membatalkan
salat seseorang apabila ia melintas di depan mereka, menyela diantara orang
yang salat dan kiblat”.
Perasaan saya amat terguncang mendengar hadis semacam itu, saya hampir tak
pernah mengulanginya dengan harapan, kebisuan akan membuat hadis ini terhapus
dari kenangan saya. Saya bertanya, “Bagaimana mungkin Rasulullah mengatakan
hadis semacam ini, yang demikian melukai saya……Bagaimana mungkin Muhammad yang
terkasih, bisa begitu melukai perasaan gadis cilik, yang disaat pertumbuhannya,
berusaha menjadikannya sebagai pilar-pilar impian-impian romantisnya.” (Wanita
Dalam Islam, h. 82)
Dalam perjalanan hidupnya yang penuh pergolakan pemikiran ini, Mernissi
telah membuktikan bahwa didikan ibu dan neneknya telah membuahkan hasil. Di
samping karena jasa kaum nasionalis yang membolehkan perempuan mengikuti
pendidikan sekolah.
Meski begitu, Mernissi mengakui bahwa banyak impian nasionalisme Arab belum
terwujud. Poligami belum dilarang, perempuan belum mencapai status yang setara
dengan laki-laki dan demokrasi belum menjadi sistem yang dominan di dunia Arab.
Kini, Mernissi telah melewati harem dengan dilewatinya berbagai jenjang
pendidikan. Ini juga menjadi bukti keberhasilannya melewati batas-batas harem
yang selalu ia tanyakan sejak kecil.
Ia mendapatkan gelar di bidang politik dari Mohammed V University di Rabat,
Marokko. Gelar Ph.D didapatkan di Universitas Brandels, Amerika Serikat tahun
1973. Disertasinya, Beyond the Veil, menjadi buku teks yang menjadi
rujukan dalam pustaka Barat.
Dan sekarang, ia menjadi dosen tetap dan guru besar Sosiologi di
Universitas Mohammed V Rabat, yang merupakan perguruan tinggi almamaternya.
Mernissi pun aktif sebagai seorang feminis islam yang aktif diberbagai
organisasi perempuan Afrika Utara yang menyuarakan persoalan-persoalan
perempuan Islam dengan mengadakan studi dan penelitian. Ia termasuk figur yang
cukup diperhitungkan dikalangan aktivis perempuan dunia, khususnya Dunia Islam.
Penulis melihat, karya-karya Mernissi sarat dengan pengalaman
individualnya. Setidaknya pengalaman individualnya itulah yang memacunya untuk
melakukan riset historis tentang sesuatu yang dia rasa mengganggu paham
keagamaannya.
Misalnya kita lihat dalam karyanyaThe Veil and Male Elite (diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia,Menengok kontroversi Keterlibatan Wanita Dalam
Politik, (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997) yang kemudian ia revisi menjadi Women
and Islam: A Historical and Theological Enquiry (diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia: Wanita dalam Islam, Bandung: Pustaka, 1994).
Pelacakan Mernissi terhadap nash-nash suci baik Al-Qur’an dan Hadis
didasari pada pengalaman individunya sehari-hari ketika berhubungan dengan
masyarakat. Seperti misalnya hadis-hadis yang ia sebut misoginis yang
menyatakan posisi perempuan sama dengan anjing dan keledai sehingga membatalkan
salat sesorang, dikarenakan rasa ingin tahu yang mendalam terhadap posisi Hadis
tersebut. Pengalaman itu ia dapatkan waktu remaja di sekolah.
Begitu juga Hadis tentang kepemimpinan perempuan yang membuatnya, dalam
bahasa Mernissi sendiri, “hancur” perasaannya setelah mendengarnya. Dorongan
untuk melacak hadis itu secara serius karena Hadis itu terlontar dari pedagang
yang ia tanya di pasar, apakah boleh perempuan menjadi pemimpin.
Sang pedagang begitu kaget dengan pertanyaan Mernissi sampai menjatuhkan
dagangan yang dibawanya secara tak sadar. Lalu sang pedagang mengutip Hadis:
“Tidak akan selamat suatu kaum yang dipimpin oleh perempuan”.
Menurut Mernissi, peristiwa semacam itu menunjukkan Hadis ini sudah sangat
merasuk umat Islam. Sehingga ketika perempuan menjadi pemimpin menjadi ramai
diperdebatkan. Seperti kasus Benazir Butho yang waktu itu menjadi Perdana
Menteri di Pakistan. Padahal Al-Qur’an sudah mengungkapkan dengan jelas contoh
Ratu Bilqis sebagai pemimpin berjenis kelamin perempuan.
Soal lain yang menjadi concern Mernissi adalah hijab. Tema hijab
sangat dominan dalam karir intelektual Mernissi karena soal itulah yang sejak
kecil mempengaruhi dirinya dan keluarganya, dan tentunya keluarga muslim
lainnya.
Hijab, yang merupakan instrumen pembatasan, pemisahan dan pengucilan
terhadap perempuan dari ruang publik bagi Mernissi merupakan bentuk pemaahaman
keagamaan dominan (yang nota bene dikuasai oleh laki-laki!). Hijab juga berarti
sarana pemisahan antara penguasa dan rakyat. Pemikiran hijab yang terakhir ini
dipengaruhi oleh realitas kekuasaan yang terjadi dalam masyarakat Arab.
Dengan melakukan penafsiran-penafsiran Al-Qur’an dan Hadis, riset sejarah
dan analisa sosiologis, Mernissi berusaha keras untuk membongkar pemahaman
tersebut, untuk kemudian memberikan tafsir alternatif.
Pemikiran Mernissi tentang hal ini bisa kita lihat dalam dua bukunya The
Forgetten of Queen in Islam (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: Ratu-Ratu
Islam yang Terlupakan, Bandung: Mizan, 1994) dan Islam
and Democracy (diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia: Islam dan
demokrasi: antologi Ketakutan, Jogyakarta: LKiS, 1994).
Dalam beberapa karyanya, Mernissi juga mencoba menunjukkan bahwa
kekurangan-kekurangan yang ada dalam pemerintahan Arab bukanlah karena secara
inheren ajaran-ajaran religius yang nota bene menjadi undang-undang dasar
pemerintahan tersebut cacat.
Namun karena ajaran agama itu telah dimanipulasi oleh orang yang berkuasa
untuk kepentingan dirinya sendiri. Namun dalam beberapa hal Mernissi membela
negara Arab, ketika negara-negara ini disorot dan dicitrakan negatif oleh pers
Barat. (Islam dan demokrasi, h. 26)
Dalam kebanyakan karya-karyanya, Mernissi mencoba menggambarkan bahwa
ajaran agama bisa dengan mudah dimanipulasi. Karenanya Mernissi pun percaya,
penindasan terhadap perempuan adalah semacam tradisi yang dibuat-buat, dan
bukan dari ajaran agama Islam.
Makanya ia sangat berani dan tidak takut membongkar tradisi yang dianggap
sakral oleh masyarakat selama ini. Banyak tulisan-tulisan lepasnya tentang
perempuan yang menyuarakan hal di atas. Misalnya bisa kita lihat dalam bukunya
Rebellion’s Women And Islamic Memory, (London & New Jersey: Zed Books,
1996).
Sebagai seorang sosiolog, tulisan-tulisan Mernissi ini bisa dikatakan tidak
semata-mata berisi uraian normatif tapi kaya juga dengan analisa sosiologis.
Ini bisa terlihat dari karya-karya yang di atas tadi dan disertasi doktoralnya
yang dibukukan dengan judul Beyond The Veil (diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia: Seks dan Kekuasaan: Dinamika Pria-Wanita Dalam Masyarakat
Muslim Modern, (Surabaya: Al-Fikr, 1997).
Buku ini merupakan hasil penelitiannya terhadap perempuan Marokko tentang
batas-batas seksual perempuan. Sehingga, seakan-akan pergulatan intelektual dan
pengalamannya itu yang ia tuangkan dalam karya-karyanya, bisa menjadi
representasi persoalan perempuan Islam pada umumnya.